Jumat, 28 Januari 2011

Kisah Hamzah bin Abdul Muththalib R.a (Sahabat)

Beliau adalah seorang tokoh, pahlawan, singa Allah, Abu Umarah, Abu Ya’la Al-Qurasyi, Al-Hasyimi, Al Makki, kemudian Al Madani, Al Badri, dan Asy Syahid.

Beliau adalah paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan saudara sesusuan Nabi.
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Hamzah masuk Islam, orang-orang Quraisy tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah terlindungi dan Hamzah akan melindunginya. Oleh karena itu, mereka menghentikan penyiksaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Kamis, 27 Januari 2011

Kisah Miqdad Bin Amr R.a (Sahabat)

"Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad".

Dan Miqdad ibnul Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin Amr ini. Di masa jahiliyah ia menyetuiui dan membuat perjanjian untuk diambil oleh al-Aswad 'Abdi Yaghuts sebagai anak hingga namanya berubah menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kan dungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu 'Amr bin Sa'ad. Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keIslamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!

Kisah Zaid bin Haritsah R.a (Sahabat)

"Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!" (Aisyah r.a).

Tampang dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat.

Masalahnya bukan fisik. Yang membuat sejarah hidupnya hebat dan besar adalah perjalanan panjang sejarahnya bersama Rasulullah. Zaid yang berasal dari suku yang jauh dari Mekah, sampai ke Mekah dengan status budak. Tetapi begitulah Allah Yang Maha Mempunyai rencana agar Zaid bisa bertemu dengan Rasul-Nya. Dan inilah kisah selengkapnya, Sudah lama sekali isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan isterinya sedang menggendong anak mereka yang masih kecil, Zaid. Di waktu ia akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, perasaan aneh menyeluruh di hatinya, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Dan kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ....

Kisah Mariyah Al-Qibtiyah R'anha (Sahabat)

Dikutip dari : Canggile.blogspot.com

Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.

Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.

Abdullah bin Abbas R.a (wafat 68 H)

Dikutip dari : Canggile.blogspot.com

Abdullah bin Abbas adalah sahabat kelima yang banyak meriwayatkan hadist sesudah Sayyidah Aisyah, ia meriwayatkan 1.660 hadits. Dia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah dan ibunya adalah Ummul Fadl Lababah binti harits saudari ummul mukminin Maimunah.

Sahabat yang mempunyai kedudukan yang sangat terpandang ini dijuluki dengan Informan Umat
Islam. Beliaulah asal silsilah khalifah Daulat Abbasiah. Dia dilahirkan di Mekah dan besar di saat
munculnya Islam, di mana beliau terus mendampingi Rasulullah sehingga beliau mempunyai banyak riwayat hadis sahih dari Rasulullah . Beliau ikut di barisan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Beliau ini adalah pakar fikih, genetis Arab, peperangan dan sejarah. Di akhir hidupnya dia mengalami kebutaan, sehingga dia tinggal di Taif sampai akhir hayatnya.

Jumat, 21 Januari 2011

Sufyan Bin ‘Uyainah Tabi'ut Tabi'in

Sufyan Bin ‘Uyainah Rahimahullah(Kunikahi dia karena Agamanya)
Sumber : Jilbab.or.id

Orang alim ini dilahirkan pada tahun 107 H pada pertengahan bulan Syawwal, dan ajal menjemputnya pada hari Sabtu, 1 Rajab 198 H. Nasab lengkapnya, Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imran al Kufi. Dia dikenal dengan panggilan Abu Muhammad.

Ayahnya seorang pegawai pada masa Khalid bin Abdillah Al Qasri. Tatkala Khalid diberhentikan dari jabatan Gubernur Iraq dan digantikan oleh Yusuf bin Umar ats Tsaqafi, pejabat baru ini mencari-cari para staff pada masa pemerintahan Khalid, sehingga mereka berlarian untuk menyembunguikan diri. ‘Uyainah, Ayah Sufyan kecil, melarikan diri sampai ke kota Mekkah dan akhirnya memutuskan berdomisili disana.

Sufyan Ats Tsauri Tokoh Tabi'ut Tabi'in

Biografi Imam Sufyan Ats-Tsauri (77 H - 161/162 H)


“Sufyan Ats-Tsauri adalah pemimpin ulama-ulama Islam dan gurunya. Sufyan rahimahullah adalah seorang yang mempunyai kemuliaan, sehingga dia tidak butuh dengan pujian. Selain itu Ats-Tsauri juga seorang yang bisa dipercaya, mempunyai hafalan yang kuat, berilmu luas, wara’ dan zuhud”, demikian kata Al-Hafidz Abu Bakar Al-Khatib rahimahullah.


Nama, Kelahiran dan Tempatnya

Nama lengkapnya adalah: Sufyan bin Said bin Masruq bin Rafi’ bin Abdillah bin Muhabah bin Abi Abdillah bin Manqad bin Nashr bin Al-Harits bin Tsa’labah bin Amir bin Mulkan bin Tsur bin Abdumanat Adda bin Thabikhah bin Ilyas.

Kelahirannya: Para ahli sejarah sepakat bahwa beliau lahir pada tahun 77 H. ayahnya adalah seorang ahli hadits ternama, yaitu Said bin Masruq Ats-Tsauri. Ayahnya adalah teman Asy-Sya’bi dan Khaitsamah bin Abdirrahman. Keduanya termasuk para perawi Kufah yang dapat dipercaya. Mereka adalah termasuk generasi Tabi’in.

Tempat kelahirannya: beliau rahimahullah dilahirkan di Kufah pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Dan beliau keluar dari Kufah tahun 155 H dan tidak pernah kembali lagi.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya

Sufyan bagaikan lautan yang tidak diketahui kedalamannya, bagaikan air bah yang mengalir yang tidak mungkin terbendung.

Diantara pujian para ulama terhadap beliau adalah:

Waqi’ berkata : “ Sufyan adalah bagaikan lautan”.

Sedang Al-Auza’I juga mengatakan, “Tidak ada orang yang bisa membuat ummat merasa ridha dalam kebenaran kecuali Sufyan.”

Sufyan bin ‘Uyainah juga telah berkata, “Aku tidak melihat ada orang yang lebih utama dari Sufyan, sedang dia sendiri tidak merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling utama.”

Dari Yahya bin Said, bahwa orang-orang bertanya kepada kepadanya tentang Sufyan dan Syu’bah, siapakah diantara keduanya yang paling disenangi?

Yahya bin Said menjawab, “Persoalannya bukan karena senang, sedangkan jika karena rasa senang, maka Syu’bah lebih aku senangi dari Sufyan, karena keunggulannya. Sufyan bersandarkan kepada tulisan sedang Syu’bah tidak bersandar kepada tulisan. Namun Sufyan lebih kuat ingatannya dari Syu’bah, aku pernah melihat keduanya berselisih, maka pendapat Sufyan Ats-Tsauri yang digunakan.”

Dari Yahya bin Ma’in, dia berkata, “Tidak ada orang yang berselisih tentang sesuatu dengan Sufyan, kecuali pendapat Sufyanlah yang digunakan.”

Ahmad bin Abdullah Al-Ajli berkata, “Sebaik-baik sanad yang berasal dari Kufah adalah dari Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah.”

Ulama-ulama besar, seperti Syu’bah, Sufyan bin Uyainah, Abu ‘Ashim An-Nabil, Yahya bin Ma’in dan yang lain berkata, “Sufyan adalah Amirul Mukminin dalam hadits.”

Ibnu Al-Mubarak pernah berkata, “Aku telah menulis hadits dari 1100 guru, namun aku tidak tidak bisa menulis sebaik Ats-Tsauri.”

Al-Hafidz telah menuturkan sifat-sifat baik yang dimiliki Sufyan sebagai berikut, “Sufyan adalah pimpinan orang-orang zuhud, banyak melakukan ibadah dan takut kepada Allah. Ats-Tsauri juga pimpinan orang-orang yang mempunyai hafalan yang kuat, dia banyak mengetahui tentang hadits dan mempunyai pengetahuan tentang ilmu fikih yang mendalam. Ats-Tsauri juga seorang yang tidak gentar cercaan dalam membela agama Allah. Semoga Allah mengampuni semua kesalahannya, yaitu kesalahan-kesalahan yang bukan hasil ijtihad.”

Dan masih banyak lagi pujian-pujian para ulama mengenai beliau rahimahullah, dan cukuplah apa yang disebutkan menjadi bukti bahwa beliau adalah seorang ulama yang sangat dipercaya dan diakui keluasan ilmunya.


Keteguhan Beliau Dalam Mengikuti Sunnah

Dari Syu’aib bin Harb rahimahullah, dia berkata, “Aku berkata kepada Sufyan, “Ceritakanlah sebuah hadits yang karena hadits itu Allah akan memberikan karunia kepadaku, dan jika aku berada di sisi-Nya dan Dia menanyaiku, maka aku akan katakan, “Wahai Tuhanku, Sufyan telah menceritakan hadits ini kepadaku, maka menjadi selamatlah diriku.”

Maka Sufyan berkata, “Tulislah, ‘Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk(ciptaan-Nya). Dari-Nya segala sesuatu ada dan hanya kepda-Nya semua akan kembali, dan barang siapa tidak mengakuinya maka dia telah menjadi kafir. Iman adalah perwujudan dari ucapan, perbuatan dan niat, kadar keimanan bisa bertambah dan bisa berkurang.”

Setelah aku menulisnya, kemudian aku tunjukkan tulisan itu kepadanya, dia berkata, “Wahai Syu’aib, apa yang telah kamu tulis tidak akan bermanfaat kepadamu hingga kamu membasuh khuffain (muzzah) dan menganggap bahwa melirihkan basmalah lebih utama dari mengeraskannya. Dan hendaknya kamu beriman kepada ketentuan atau qadar Allah, melakukan shalat berjamaah brsama imam, baik imam shaleh ataupun tidak shaleh.”

Kemudian Sufyan berkata, “Jihad hukumnya wajib, mulai zaman dahulu sampai Hari Kiamat, bersabarlah di bawah pemerinyahan seorang penguasa, baik penguasa yang adil maupun penguasa yang lalim.”

Aku bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah aku harus berjamaah dalam setiap shalat?” dia menjawab, “Tidak, namun shalat Jum’at, shalat Idul Fithri dan shalat Idul Adha. Berjamaahlah di belakang imam yang kamu dapatkan dalam shalat-shalat tersebut. sedangkan untuk shalat-shalat yang lain hendaknya kamu memilih imam, janganlah kamu shalat berjamaah kecuali bersama imam yang telah kamu percaya, yaitu imam yang memegang teguh Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika kamu berada dihadapan Allah dan ditanya tentang hal-hal yang telah aku pesankan kepadamu tersebut, maka katakan, “Wahai Tuhanku, sufyan bin Said telah memberitakan komentar seperti ini, lalu biarkan masalahmu menjadi tanggungan antara aku dan Tuhanku.”

Adz-Dzahabi memberikan komentar tentang keterangan diatas, dia berkata, “Keterangan ini benar-benar dari Sufyan.”


Guru dan Murid-Murid Beliau Rahimahullah

Guru-Guru Beliau:

Al-Hafidz berkata, “Sufyan meriwayatkan dari ayahnya, Abu Ishaq Asy-Syaibani, Abdul Malik bin Umair, Abdurrahman bin ‘Abis bin Rabi’ah, Ismail bin Abu Khalid, Salamah bin Kuhail, Tharik bin Abdirrahman, Al-Aswad bin Qais, Bayan bin Bisyr, Jami’ bin Abi Rasyid, Habib bin Abi Tsabit, Husain bin Abdirrahman, Al-A’masy, Manshur, Mughirah, Hammad bin Abi Sulaiman, Zubaid Al-Yami, Shaleh bin Shaleh bin Haiyu, Abu Hushain, Amr bin Murrah, ‘Aun bin Abi Jahifah, Furas bin Yahya, Fathr bin Khalifah, Maharib bin Datsar dan Abu Malik Al-Asyja’i.”

Beliau juga meriwayatkan dari guru-guru yang berasal dari Kufah, yang diantaranya adalah: Ziyad bin Alaqah, ‘Ashim Al-Ahwal, Sulaiman At-Tamimi, Hamaid Ath-Thawil, Ayyub, Yunus bin Ubaid, Abdul Aziz bin Rafi’, Al-Mukhtar bin Fulful, Israil bin Abi Musa, Ibrahim bin Maisarah, Habib bin Asy-Syahid, Khalid Al-Hadza’, Dawud bin Abi Hind dan Ibnu ‘Aun.

Disamping itu, beliau juga meriwayatkan dari sekelompok orang dari Bashrah, yaitu Zaid bin Aslam, Abdullah bin Dinar, Amr bin Dinar, Ismail bin Umayyah, Ayyub bin Musa, Jabalah bin Sakhim, Rabi’ah, Saad bin Ibrahim, Sima budak Abu bakar, Suhail bin Abi Shaleh, Abu Az-Zubair, Muhammad, Musa bin Uqbah, Hisyan bin Urwah, Yahya bin Said Al-Anshari, dan sekelompok orang dari Hijaz dan yang lain.


Murid-Murid Beliau:

Al-Hafidz berkata, “Orang-orang yang meriwayatkan darinya tidak terhitung jumlahnya, diantaranya adalah: Ja’far bin Burqan, Khusaif bin Abdurrahman, Ibnu Ishaq dan yang lain, mereka ini adalah tergolong guru-guru Sufyan Ats-Tsauri yang meriwayatkan darinya.

Sedangkan murid-murid Ats-Tsauri yang meriwayatkan darinya adalah: Aban bin Taghlab, Syu’bah, Zaidah, Al-Auza’I, Malik, Zuhair bin Muawiyah, Mus’ar dan yang lain, mereka ini adalah orang-orang yang hidup sezaman dengannya.

Diantara murid-muridnya lagi adalah Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Said, Ibnu Al-Mubarak, Jarir, Hafsh bin Ghayyats, Abu Usamah, Ishaq Al-Azraq, Ruh bin Ubadah, Zaidah bin Al-Habbab, Abu Zubaidah Atsir bin Al-Qasim, Abdullah bin Wahab, Abdurrazzaq, Ubaidillah Al-Asyja’I, Isa bin Yunus, Al-Fadhl bin Musa As-Sainani, Abdullah bin Namir, Abdullah bin Dawud Al-Khuraibi, Fudhail bin Iyadh, dan Abu Ishaq Al-fazari.

Selain yang disebutkan diatas murid-muridnya yang lain adalah Makhlad bin Yazid, Mush’ab bin Al-Muqaddam, Al-Walid bin Muslim, Mu’adz bin Mu’adz, Yahya bin adam, Yahya bin Yaman, Waki’, Yazid bin Nu’aim, Ubaidillah bin Musa, Abu Hudzaifah An-Nahdi, Abu ‘Ashim, Khalad bin Yahya, Qabishah, Al-faryabi, Ahmad bin Abdillah bin Yunus, Ali bin Al-Ju’di, dan dia adalah perawi tsiqat (terpercaya) paling akhir yang meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri.


Beberapa Mutiara Perkataannya

Dari Abdullah bin Saqi, dia berkata, “Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, melihat kepada wajah orang yang berbuat zhalim adalah suatu kesalahan.”

Dari Yahya bin Yaman, dia berkata, “Sufyan menceritakan sebuah hadits kepada kami, ‘Isa bin Maryam ‘Alaihis Salam telah berkata: mendekatlah kalian kepada Allah dengan membenci orang-orang yang berbuat maksiat dan dapatkanlah ridha-Nya dengan menjauhi mereka.”

Orang-orang bertanya, “Dengan siapa kami harus bergaul, wahai Sufyan?” Sufyan menjawab, “Dengan orang-orang yang mengingatkan kamumuntuk berdzikir kepada Allah, dengan orang-orang yang membuat kamu gemar beramal untuk akhirat, dan dengan orang-orang yang akan menambah ilmumu ketika kamu berbicara kepadanya.”


Dari Abdulah bin Bisyr, dia berkata, “Aku mendengar Sufyan berkata, ‘Sesungguhnya hadits itu mulia, barang siapa menginginkan dunia dengan hadits maka dia akan mendapatkannya, dan barangsiapa menginginkan akhirat dengan hadits maka dia juga akan mendapatkannya.”

Dari Hafsh bin Amr, dia berkata, “Sufyan menulis sepucuk surat kepada Ubbad bin Ubbad, dia berkata, ‘Amma ba’du, sesungguhnya kamu telah hidup pada zaman dimana para sahabat terlindungi dengan keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mempunyai ilmu yang tidak kita miliki, mereka mempunyai keberanian yang tidak kita miliki.

Lalu, bagaimana dengan kita yang mempunyai sedikit ilmu, mempunyai sedikit kesabaran, mempunyai sedikit perasaan tolong menolong dalam kebaikan dan manusia telah hancur serta dunia telah kotor?

Maka, hendaknya kamu mengambil suritauladan pada generasi pertama, yaitu generasi para sahabat. Hendaknya kamu jangan menjadi generasi yang bodoh, karena sekarang telah tiba zaman kebodohan.

Juga, hendaknya kamu menyendiri dan sedikit bergaul dengan orang-orang. Jika seseorang bertemu dengan orang lain maka seharusnya mereka saling mengambil manfaat, dan keadaan seperti ini telah hilang, maka akan lebih baik jika kamu meninggalkan mereka.”

Dalam surat tersebut Sufyan juga berkata, “Aku berpendapat, hendaknya kamu jangan mengundang para penguasa dan bergaul dengan mereka dalam suatu masal;ah. Hendaknya kamu jangan berbuat bohong, dan jika dikatakan kepadamu, ‘Mintalah pertolongan dari perbuatan yang zhalim atau kezhaliman,’ maka perkataan ini adalah kebohongan dari iblis.

Hendaknya kamu mengambil perkataan orang-orang yang benar, yaitu orang-orang yang mengatakan, “Takutlah fitnah dari orang yang taat beribadah namun dia seorang yang bodoh, dan fitnah dari orang yang mempunyai banyak ilmu namun dia seorang yang tidak mempunyai akhlak terpuji.”

Sesungguhnya fitnah yang ditimbulkan dari mereka berdua adalah sebesar-besar fitnah, tidak ada suatu perkara kecuali mereka berdua akan membuat fitnah dan mengambil kesempatan, janganlah kamu berdebat dengan mereka.”

Sufyan juga mengatakan, “Hendaknya kamu menjadi orang yang senang mengamalkan terhadap apa yang telah dia katakan dan menjadi bukti dari ucapannya, atau mendengar ucapannya sendiri. Jika kamu meninggalkannya maka kamu akan menjadi orang celaka.

Hendaknya kamu jangan mencintai kekuasaan, barangsiapa mencintai kekuasaan melebihi cintanya dengan emas dan perak, maka dia menjadi orang yang rendah. Seorang ulama tidak akan menghiraukan kekuasaan kecuali ulama yang telah menjadi makelar, dan jika kamu senang dengan kekuasaan maka akan hilang jati dirimu. Berbuatlah sesuai dengan niatmu, ketahuilah sesungguhnya ada orang yang diharapkan orang-orang disekitarnya agar cepat mati. Wassalam.”


Wafat Beliau

Adz-Dzahabi berkata, “Menurut pendapat yang benar, Sufyan meninggal pada bulan Sya’ban tahun161 H, Al-Waqidi juga mengatakan demikian, sedangkan Khalifah meragukannya dan dia berkata bahwa meninggalnya Sufyan adalah pada tahun 162 H.

Sufyan rahimahullah memberikan wasiat kepada Abdurrahman bin Abdul Malik, agar menyalatinya. Dan ketika beliau meninggal Abdurrahman pun memenuhi wasiatnya tersebut dengan menyalatinya bersama penduduk Bashrah. Mereka telah menjadi saksi meninggalnya Sufyan.

Abdurrahman bin Abdul Malik bersama Khalid bin Al-Haritsah dan dibantu penduduk Bashrah menguburkan Sufyan. Setelah acara pemakaman selesai, dia bergegas ke Kufah dan memberitahu keluarga Sufyan perihal meninggalnya Sufyan.

Demikian, semoga Allah memberikan rahmatNya yang luas dan memasukkannya ke dalam surgaNya yang tinggi yang buah-buahan didalamnya tidak tinggi hingga mudah dipetik oleh orang yang didekatnya. Amiin.


Sumber: dinukil dari kitab “Min A’lamis Salaf” karya, Syaikh Ahmad Farid, edisi indonesia : “60 Bigrafi Ulama Salaf” cet. Pustaka Azzam, hal : 212-230 dengan sedikit diringkas.

Al Auza'i Tokoh Tabi'ut Tabi'in

Pelajaran Konsistensi dari Seorang Al-Auza’i

Namanya Abdurrahman bin Amr bin Muhammad Asy-Syami Al-Auza’i. Ulama yang lahir pada tahun 88 Hijriyah ini biasa disebut dengan Al-Auza’i. Dialah anak yatim yang tumbuh di sekitar wilayah Damaskus yang kemudian menjadi panutan masyarakat sezamannya.

Beliau terkenal dengan ulama yang begitu wara’ dalam hal apa pun yang akan menjadi konsumsi keluarganya.

Suatu kali, ada seorang nasrani yang memberinya hadiah sekantong madu. Rupanya, si nasrani memberi hadiah ke Al-Auza’i bukan dengan sesuatu yang gratis. Ia ingin agar ulama yang sangat disegani penguasa waktu itu memberinya sebuah memo untuk disampaikan kepada sang penguasa. Dari memo itulah, ia berharap mendapat sesuatu dari sang penguasa. Al-Auza’i mengatakan, “Maukah kamu aku tuliskan sebuah memo untuk kamu bawa kepada penguasa Ba’labak, sementara sekantong madu ini kukembalikan kepadamu?”

Tentu saja, tawaran ini diterima si nasrani. Ia pun gembira dengan apa yang dilakukan Al-Auza’i. Dari memo yang ditulis Al-Auza’i, si nasrani mendapat hadiah dari sang penguasa sebesar 30 dinar, atau setara dengan 40 juta rupiah.

Sebuah hadiah pernah juga disampaikan seorang yang datang dari Mekah dengan maksud untuk mendapatkan ilmu hadits dari Al-Auza’i. Ia bernama Abu Marhum.

Mendapati ini, Al-Auza’i langsung mengatakan, “Wahai Abu Marhum, jika kamu ingin aku menerima hadiah darimu, maka tak satu huruf pun aku berikan kepadamu. Ambillah kembali hadiah ini, maka aku akan menyampaikan beberapa hadits kepadamu.”

Pernah suatu kali, seorang utusan penguasa Abdullah bin Ali datang meneror Al-Auza’i. Ia membentak-bentak sang ulama sambil menyampaikan beberapa pertanyaan untuk melihat sikap asli dari Al-Auza’i.

”Wahai Abdurrahman, apa pendapatmu tentang pembunuhan yang terjadi pada Ahlul Bait?” bentak sang utusan sambil memukulkan tongkatnya ke tanah.

Dengan tenang Al-Auza’i menjawab, ”Muhammad bin Marwan telah bercerita kepadaku dari Mathraf bin Asy-Syukhair dari Aisyah dari Rasulullah saw., beliau bersabda, Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali tiga perkara.” (ucap beliau hingga hadits tersebut tuntas dibacakan)

Sang utusan bertanya lagi, ”Ceritakan kepadaku tentang khalifah, yaitu wasiat Rasulullah saw. kepada kami?”

Al-Auza’i menjawab, ”Kalau khalifah adalah wasiat Rasulullah, maka Ali r.a. tidak akan membiarkan orang lain melanggarnya.”

Terakhir, utusan itu mengatakan lagi, ”Apa pendapatmu tentang harta Bani Umayah?”

Dengan tanpa rasa sungkan, Al-Auza’i mengatakan, ”Apabila harta itu halal bagi mereka, maka haram bagimu. Jika harta itu haram buat mereka, maka akan lebih haram lagi jika kamu mengambilnya.”

Seorang ulama yang bernama Adz-Dzahabi mengomentari peristiwa teror itu dengan mengatakan, ”Abdullah bin Ali adalah seorang raja yang zalim, sewenang-wenang dan suka menumpahkan darah. Kekuasaannya sangat kuat. Meskipun begitu, Al-Auza’i tidak merasa gentar untuk mengatakan sebuah kebenaran.”

Ada begitu banyak nasihat yang disampaikan Al-Auza’i kepada murid-murid dan orang sezamannya. Di antaranya, ”Hendaknya kalian tetap mengikuti ulama-ulama salaf, meskipun orang-orang meninggalkanmu. Hendaknya, kalian tetap mengikuti pendapat-pendapat mereka, meskipun orang-orang mengejekmu. Sesungguhnya, kebenaran akan menjadi nyata, dan kamu berada di jalan yang lurus.”

Ulama yang wafat pada tahun 157 Hijriyah ini juga pernah berpesan, ”Ulama-ulama salaf tidak membedakan antara iman dan perbuatan, karena iman bagian dari perbuatan dan perbuatan bagian dari iman. Barangsiapa beriman dengan lisannya, diakui dengan hati dan diaktualisasikan dengan perbuatannya, maka keimanannya telah benar. Dan siapa yang beriman dengan lisannya, namun hatinya tidak mengakui dan perbuatannya pun tidak sejalan dengan keimanan yang ia ucapkan, maka keimanan seperti itu tidak diterima di sisi Allah, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.”

(muhammadnuh@eramuslim.com, disarikan dari kitab Min A’lam As-Salaf, oleh Syaikh Ahmad Farid)

ImamMalik bin Anas tabi'ut tabi'in

Sumber:rumahislam.com
Nama adalah Abu ‘Abdullah Malik bin Anas bin Abu Amir bin bin Al Haruts (93 - 179 H = 712 - 798 M). Imam Malik bin Anas dilahirkan pada tahun 93 Hijriyah di Madinah dan meninggal dunia pada Ahad, 14 Rabiul Awwal tahun 169 Hijriyah (sebagian menyatakan 179 H) di Madinah, dengan meninggalkan tiga orang anak; Yahya, Muhammad, dan Hammad.

Beliau berada dalam kandungan ibunya selama tiga tahun dan silsilahnya merujuk kepada Ya’rub bin Al Qaththan Al Asbahi. Nenek moyangnya adalah Abu ‘Umar, seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali perang Badar. Adapun kakeknya, Malik bin Anas, adalah seorang tabi'in besar dan ahli fikih kenamaan, dan salah seorang dari empat orang tabi'in yang jenazahnya diusung sendiri oleh Khalifah Usman bin Affan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Beliau belajar hadits secara qira'ah kepada
1. Nafi' bin Abu Nua'im
2. Az Zuhri,
3. Nafi' (pelayan Abdullah bin 'Umar), dan lainnya.
Adapun ulama ulama ternama yang pernah belajar kepada dia. di antaranya adalah
1. Al Auza'i,
2. Sufyan Ats Tsauri,
3. Sufyan bin 'Uyainah,
4. Ibnu Al Mubarak,
5. Imam Syafi’i dan lainnya.

Malik bin Anas adalah seorang ahli fikih dan ahli hadits yang selalu menjunjung tinggi dan menghormati hadits hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam. Para ulama juga mengakui beliau sebagai ahli hadits yang sangat tangguh. Jika beliau memberikan hadits kepada siapa pun, beliau terlebih dulu berwudhu kemudian duduk di atas tikar untuk shalatnya dengan tenang dan tawadhu'. Beliau sangat tidak suka memberikan hadits sambil berdiri, di tengah jalan, atau, dengan cara tergesa gesa. Beliau juga tidak pernah melalaikan shalat berjamaah, selalu aktif membesuk sahabat sahabatnya yang sedang sakit, dan tidak lupa menunaikan kewajiban - kewajiban lainnya.

Beberapa perkataan ulama tentang Imam Malik bin Anas :
1. Imam Asy Syafi’i : " Jika dibicarakan tentang hadits, maka Imam Malik adalah bintangnya, dan jika dibicarakan soal keulamaan, maka Imam Malik jugalah yang menjadi bintangnya. Tidak ada seorang pun yang terpercaya dalam bidang ilmu Allah dibandingkan Imam Malik. Imam Malik dan Ibnu 'Uyainah adalah dua orang sahabat yang mumpuni di bidang ilmu ilmu Allah. Seandainya mereka berdua tidak ada, niscaya hilang juga ilmu orang¬ - orang Hijaz."
2. Imam Yahya bin Sa'id Al Qaththan dan Imam Yahya bin Ma’in memberikan gelar kepada beliau sebagai Amirul Mu'minin fi Al Hadits.
3. Al Bukhari menyatakan bahwa sanad yang dikatakan ashahhul asanid adalah apabila sanad itu terdiri dari Imam Malik, Nafi’, dan 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahli 'anhuma.
4. Masyarakat Hijaz memberikan gelar kehormatan kepada beliau dengan julukan 'Sayyid Fuqaha 'il Hijaz.'
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang sangat keras dalam mempertahankan pendapatnya yang diyakini benar. Beliau pernah diadukan kepada Khalifah Ja’far bin Sulaiman oleh paman Khalifah sendiri. Beliau dituduh tidak menyetujui pembaiatan pada Khalifah. Menurut Ibnu Al jauzi, beliau disiksa dengan hukuman cambuk sebanyak tujuh puluh kali sampai ruas lengannya sebelah atas bergeser dari persendian pundaknya. Siksaan ini dilakukan karena fatwa beliau tidak sesuai dengan kehendak dan kemauan Khalifah. Penyiksaan yang dilakukan Khalifah itu bukan menurunkan popularitasnya di mata masyarakat luas, bahkan namanya menjadi harum dan berkibar serta kedudukannya menjadi lebih terhormat di kalangan para ahli ilmu.

Karyanya yang sangat gemilang dan dinilai monumental di bidang ilmu hadits adalah kitab Al Muwaththa'. Kitab ini ditulis pada tahun 144 Hijriyah atas anjuran Khalifah Ja’far Al Manshur ketika mereka bertemu pada pelaksanaan ibadah haji. Menurut penelitian yang dilakukan Abu Bakar Al Abhari, jumlah atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat, dan tabi'in yang tercantum dalam kitab, Al Muwaththa' sebanyak 1720 buah, dengan perincian sebagai berikut: yang musnad sebanyak 600 buah, yang mursal sebanyak 222 buah, yang mauquf sebanyak 613, dan yang maqthu’ sebanyak 285 buah.

Umar bin Abdul Aziz r.a. (61 – 101 H)

sumber:kisah.web.id
Saat itu tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah dekat dia beristirahat.

“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak. Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”

Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahndanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata,
“Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”

Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.

Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.

Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”

Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.

Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.

Kelahiran Umar bin Abdul Aziz

Saat itu, Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Abdul Aziz adalah Gubernur Mesir di era khalifah Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M) yang merupakan kakaknya. Abdul Mallik bin Marwan adalah seorang shaleh, ahli fiqh dan tafsir, serta raja yang baik terlepas dari permasalahan ummat yang diwarisi oleh ayahnya (Marwan bin Hakam) saat itu.

Dari perkawinan itu, lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dilahirkan di Halawan, kampung yang terletak di Mesir, pada tahun 61 Hijrah. Umar kecil hidup dalam lingkungan istana dan mewah. Saat masih kecil Umar mendapat kecelakaan. Tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek hingga tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum. Seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar,

“Bergembiralah engkau wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab insyaallah terwujud, dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.“

Umar bin Abdul Aziz menuntut ilmu sejak beliau masih kecil. Beliau sentiasa berada di dalam majlis ilmu bersama-sama dengan orang-orang yang pakar di dalam bidang fikih dan juga ulama-ulama. Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil. Merantau ke Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa tokoh terkemuka spt Imam Malik b. Anas, Urwah b. Zubair, Abdullah b. Jaafar, Yusuf b. Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan beberapa tokoh terkenal di Mesir.

Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik memerintah, beliau memegang jawatan gabernur Madinah/Hijaz dan berjaya mentadbir wilayah itu dengan baik. Ketika itu usianya lebih kurang 28 tahun. Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik memerintah, beliau dilantik menjadi menteri kanan dan penasihat utama khalifah. Pada masa itu usianya 33 tahun.

Umar bin Abdul Aziz mempersunting Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan sebagai istrinya. Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan adalah putri dari khalifah Abdul Malik bin Marwan. Demikian juga, keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam. Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah.

Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah

Atas wasiat yang dikeluarkan oleh khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pada usianya 37 tahun. Beliau dilantik menjadi Khalifah selepas kematian Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beliau tidak suka kepada pelantikan tersebut. Lalu beliau memerintahkan supaya memanggil orang ramai untuk mendirikan sembahyang. Selepas itu orang ramai mula berpusu-pusu pergi ke masjid. Apabila mereka semua telah berkumpul, beliau bangun menyampaikan ucapan. Lantas beliau mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan berselawat kepada Nabi s.a.w kemudian beliau berkata:

“Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini tanpa meminta pandangan daripada aku terlebih dahulu dan bukan juga permintaan daripada aku serta tidak dibincangkan bersama dengan umat Islam. Sekarang aku membatalkan baiah yang kamu berikan kepada aku dan pilihlah seorang Khalifah yang kamu reda”.

Tiba-tiba orang ramai serentak berkata:

“Kami telah memilih kamu wahai Amirul Mukminin dan kami juga reda kepada kamu. Oleh yang demikian perintahlah kami dengan kebaikan dan keberkatan”.

Lalu beliau berpesan kepada orang ramai supaya bertakwa, zuhud kepada kekayaan dunia dan mendorong mereka supaya cintakan akhirat kemudian beliau berkata pula kepada mereka: “Wahai sekalian umat manusia! Sesiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan sesiapa yang tidak taat kepada Allah, dia tidak wajib ditaati oleh sesiapapun. Wahai sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepada aku selagi aku taat kepada Allah di dalam memimpin kamu dan sekiranya aku tidak taat kepada Allah, janganlah sesiapa mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar.

Umar rahimahullah pernah menghimpunkan sekumpulan ahli fekah dan ulama kemudian beliau berkata kepada mereka: “Aku menghimpunkan kamu semua untuk bertanya pendapat tentang perkara yang berkaitan dengan barangan yang diambil secara zalim yang masih berada bersama-sama dengan keluarga aku?” Lalu mereka menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! perkara tersebut berlaku bukan pada masa pemerintahan kamu dan dosa kezaliman tersebut ditanggung oleh orang yang mencerobohnya.” Walau bagaimanapun Umar tidak puas hati dengan jawapan tersebut sebaliknya beliau menerima pendapat daripada kumpulan yang lain termasuk anak beliau sendiri Abdul Malik yang berkata kepada beliau: “Aku berpendapat bahawa ia hendaklah dikembalikan kepada pemilik asalnya selagi kamu mengetahuinya. Sekiranya kamu tidak mengembalikannya, kamu akan menanggung dosa bersama-sama dengan orang yang mengambilnya secara zalim.” Umar berpuas hati mendengar pendapat tersebut lalu beliau mengembalikan semula barangan yang diambil secara zalim kepada pemilik asalnya.

Sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta.

Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
Kata Fatimah, “Demi Allah, Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”

Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.

Setelah menjadi khalifah, beliau mengubah beberapa perkara yang lebih mirip kepada sistem feodal. Di antara perubahan awal yang dilakukannya ialah :
1) menghapuskan cacian terhadap Saidina Ali b Abu Thalib dan keluarganya yang disebut dalam khutbah-khutbah Jumaat dan digantikan dengan beberapa potongan ayat suci al-Quran
2) merampas kembali harta-harta yang disalahgunakan oleh keluarga Khalifah dan mengembalikannya ke Baitulmal
3) memecat pegawai-pegawai yang tidak cekap, menyalahgunakan kuasa dan pegawai yang tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga Khalifah
4) menghapuskan pegawai pribadi bagi Khalifah sebagaimana yang diamalkan oleh Khalifah terdahulu. Ini membolehkan beliau bebas bergaul dengan rakyat jelata tanpa sekatan tidak seperti khalifah dahulu yang mempunyai pengawal peribadi dan askar-askar yang mengawal istana yang menyebabkan rakyat sukar berjumpa.

Selain daripada itu, beliau amat menitilberatkan tentang kebajikan rakyat miskin di mana beliau juga telah menaikkan gaji buruh sehingga ada yang menyamai gaji pegawai kerajaan.

Beliau juga amat menitikberatkan penghayatan agama di kalangan rakyatnya yang telah lalai dengan kemewahan dunia. Khalifah umar telah memerintahkan umatnya mendirikan solat secara berjammah dan masjid-masjid dijadikan tempat untuk mempelajari hukum Allah sebegaimana yang berlaku di zaman Rasulullah SAW dan para Khulafa’ Ar-Rasyidin. Baginda turut mengarahkan Muhammad b Abu Bakar Al-Hazni di Mekah agar mengumpul dan menyusun hadith-hadith Raulullah SAW. Beliau juga meriwayatkan hadis dari sejumlah tabiin lain dan banyak pula ulama hadis yang meriwayatkan hadis daripada beliau.

Dalam bidang ilmu pula, beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya menterjemahkan buku-buku kedoktoran dan pelbagai bidang ilmu dari bahasa Greek, Latin dan Siryani ke dalam bahasa Arab supaya senang dipelajari oleh umat Islam.

Dalam mengukuhkan lagi dakwah Islamiyah, beliau telah menghantar 10 orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara serta menghantar beberapa orang pendakwah kepada raja-raja India, Turki dan Barbar di Afrika Utara untuk mengajak mereka kepada Islam. Di samping itu juga beliau telah menghapuskan bayaran Jizyah yang dikenakan ke atas orang yang bukan Islam dengan harapan ramai yang akan memeluk Islam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan keadilannya telah menjadikan keadilan sebagai keutamaan pemerintahannya. Beliau ingin semua rakyat dilayani dengan adil tidak memandang keturunan dan pangkat supaya keadilan dapat berjalan dengan sempurna. Keadilan yang beliau perjuangan adalah menyamai keadilan di zaman kakeknya, Khalifah Umar Al-Khatab.

Pada masa pemerintahan beliau, kerajaan Umaiyyah semakin kuat tiada pemberontakan dalaman, kurang berlaku penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang sewajarnya dan menjadi kaya-raya hinggakan Baitulmal penuh dengan harta zakat kerana tiada lagi orang yang mahu menerima zakat. Rakyat umumnya sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya mau berdikari sendiri. Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekausaan pemerintahan di Portugal dan Spanyol berada di bawah kekuasaannya.

Kematian beliau

Beliau wafat pada tahun 101 Hijrah ketika berusia 39 tahun. Beliau memerintah hanya selama 2 tahun 5 bulan saja. Setelah beliau wafat, kekhalifahan digantikan oleh iparnya, Yazid bin Abdul Malik.

Muhammad bin Ali bin Al-Husin rahimahullah berkata tentang beliau: “Kamu telah sedia maklum bahwa setiap kaum mempunyai seorang tokoh yang menonjol dan tokoh yang menonjol dari kalangan Bani Umaiyyah ialah Umar bin Abdul Aziz, beliau akan dibangkitkan di hari kiamat kelak seolah-olah beliau satu umat yang berasingan.”

Terdapat banyak riwayat dan athar para sahabat yang menceritakan tentang keluruhan budinya. Di antaranya ialah :
1) At-Tirmizi meriwayatkan bahwa Umar Al-Khatab telah berkata : “Dari anakku (zuriatku) akan lahir seorang lelaki yang menyerupainya dari segi keberaniannya dan akan memenuhkan dunia dengan keadilan”
2) Dari Zaid bin Aslam bahawa Anas bin Malik telah berkata : “Aku tidak pernah menjadi makmum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah SAW yang mana solat imam tersebut menyamai solat Rasulullah SAW melainkan daripada Umar bin Abdul Aziz dan beliau pada masa itu adalah Gabenor Madinah”
3) Al-Walid bin Muslim menceritakan bahawa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata : “Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi : “Jika seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah baiah kepadanya kerana dia adalah pemimpin yang adil”.” Lalu aku menanti-nanti sehinggalah Umar b. Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi baiah kepadanya”.
4) Qais bin Jabir berkata : “Perbandingan Umar b Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Firaun”
5) Hassan al-Qishab telah berkata :”Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz”
6) Umar b Asid telah berkata :”Demi Allah, Umar Ibnu Aziz tidak meninggal dunia sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada orang ramai :”Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mahu”. Tetapi tiada yang mahu menerimanya (kerana semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah menjadikan rakyatnya kaya-raya”
7) ‘Atha’ telah berkata : “Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha’ setiap malam. Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis kerana takut kepada azab Allah seolah-olah ada jenayah di antara mereka.”


Wallahu a’lam…

Ali bin Al-Husein Zainal Abidin

sumber:islam.pusatstudi.com
Nama lengkapnya adalah Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, neneknya adalah Fatimah az-zahra binti Rasulillah, terkadang ia disebut dengan Nama Abu Husein atau Abu Muhammad, sedangkan nama panggilannya adalah Zainal abidin dan As-Sajad, karena kebanyakan melakukan shalat dimalam hari dan di siang hari.

Ali bin al Husein Zainal ‘Abidin dianggap sebagai ulama yang paling masyur di Madinah dan pemimpin ulama tabi’in di sana. Hal ini keterangan yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, dan yang diriwayatkan Ibnu Abbas.

Kurang lebih 30 tahun Zainal Abidin bergiat mengajar berbagai cabang ilmu agama Islam di Masjid Nabawi di Madinah. Sikap tidak berpihak pada kelompok mana pun tersebut mengundang simpati dari semua kelompok yang bertikai. Zainal Abidin disegani oleh segenap kaum Muslimin baik kawan maupun lawan. Pada zamannya, Zainal Abidin diakui masyarakat Muslimin sebagai ulama puncak dan kharismatik. Ia sangat dihormati, disegani, dan diindahkan nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu tidak hanya karena kedalaman ilmu pengetahuan agamanya, tidak pula karena satu-satunya pria keturunan Rasulullah, tetapi juga karena kemuliaan akhlak dan ketinggian budi pekertinya.

Salah seorang Putera ‘Amar bin Yasir meriwayatkan bahwa: pada suatu hari Ali bin Husein kedatangan suatu kaum, lalu beliau menyuruh pembantunya untuk membuatkan daging panggang, Kemudian pembantu itu dengan terburu buru sehingga besi untuk membakar daging terjatuh mengenai kepala anak Alin bin usein yang masih kecil sehingga anak tersebut meninggal. Maka Ali berkata kepada pembantunya,’ kamu kepanasan, sehingga besi itu jatuh’. Setelah itu beliau sendiri mempersiapkan untuk memakamkan anaknya.”. Menunjukan kesabaran dan kepasrahan beliau, dimana seorang pembantu telah menyebabkan kematian anaknya. sehingga ia membalas kejelekan dengan suatu kebaikan.
Sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Abdul Malik ketika ia sedang menunaikan ibadah haji sebelum diangkat menjadi Khalifah, ia berusaha untuk mencium hajar aswad tetapi ia tidak mampu melakukannya, kemudian datang Ali bin Husein hendak mencium hajar aswad juga sehingga orang orang disekitarnya menyingkir dan berhenti lalu beliau menciumnya. Kemudian orang orang bertanya kepada Hisyam siapa orang itu?, dia menjawab aku tidak mengenalnya. Maka seseorang berkata” Aku mengenalnya, dia adalah Ali bin al Husein.

Para ulama sepakat bahwa Ali bin al Husein ini anak paling kecil dari Husein yang selamat, sedangkan kakak kakaknya dan kedua orang tuanya terbunuh sebagai syuhada. Zainal Abidin kecil selamat dari pembunuhan keluarga Rasulullah, ketika itu ia sedang terlentang diatas tempat tidur karena sakit, sehingga keadaanya luput dari pembunuhan, saat itu usianya 23 tahun. Allah melindungi dan menyelamatkannya.

Wafat
Ia wafat pada tahun 74 H di Madinah dalam usia 58 tahun dan dimakamkan di Baqi. Riwayat lain dikatakan ia wafat pada tahun 93 H dalam usia 57 tahun.

Sumber :
Biografi Ali bin Husein dalam kitab Al ‘ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy. Penerbit Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rab’ul Awal di Madinah al Nabawiyah.

Minggu, 16 Januari 2011

SILSILAH KEILMUAN ULAMA /PARA IMAM AHLI HADITS DARI JAMAN KE JAMAN

Sahabat Nabi SAW yang banyak meriwayatkan Hadist :
Abu Hurairah r.a (5374 Hadits)
Abdullah bin Umar r.a (2630 Hadits)
Anas bin Malik r.a (2286 Hadits)
Umu’l Mukminin Aisyah r.a (2210 Hadits)
Abdullah Ibnu Abbas r.a (1660 Hadits)
Jabir bin Abdullah r.a (1540 Hadits)
Abu Sa’id Al Khudry r.a (1170 Hadits)

Sahabat Nabi SAW yang banyak berfatwa :
Abdullah Ibnu Abbas r.a
Umar bin Khaththab r.a
Umu’l Mukminin Aisyah r.a
Abdullah bin Umar r.a
Abdullah bin Mas’ud r.a
Zaid bin Tsabit r.a
Ali bin Abi Thalib r.a

Tabi’in (Generasi setelah Sahabat) :
Sa’id bin Musayyab……………….(wafat setelah 90 H) (709 M)
Urwah bin Zubair………………… (wafat 94 H) (713 M)
Ali bin Husain Zainal Abidin……(wafat 93 H) (712 M)
Muhammad Ibnul Hanafiyyah……(wafat 80 H) (700 M)
Ubaidillah bin Abdullah bin Umar..(wafat 106 H) (725 M)
Al Qasim bin Muh. bin Muh. bin abu bakar Ash Shiddiq (wafat 106 H) (725 M)
Al Hasan Al Bashri………………. (wafat 110 H) (729 M)
Muhammad bin Sirrin…………….(wafat 110 H) (729 M)
Umar bin Abdul Aziz…………… (wafat 101 H) (720 M)
Abu Bakar bin Amr bin Hazm……(wafat 117 H) (735 M)
Qotadah As Sudusy ………………(wafat 118 H) (736 M)
Muh bin Syihab Az Zuhri………..(wafat 125 H) (743 M)

Tabi’ut tabi’in (Generasi setelah Tabi’in), tokoh-tokoh mereka adalah :
Imam Malik *…………………. (wafat 179 H) (796 M)..Maliki
Al Auza’i…………………………… (wafat 198 H) (814 M)
Sufyan Ats Tsauri………………..(wafat 161 H) (778 M)
Sufyan bin Uyainah……………….(wafat 198 H) (814 M)
Ismail bin Ulayyah………………..(wafat 198 H) (814 M)
Al Laits bin Sa’ad………………… (wafat 175 H) (792 M)
Abu Hanifah An Nu’man *……(wafat 150 H) (767 M)..Hanafi

Generasi setelah Tabi’ut tabi’in , diantaranya :
Abdullah ibnu Al Mubarak………..(wafat 181 H) (798 M)
Waqi’ bin Jarrah………………….. (wafat 197 H) (813 M)
Muh. bin Idris Asy Syafi’i *…..(wafat 204 H) (820 M) Syafi’i
Abdurrahman bin Mahdi………….(wafat 198 H) (814 M)
Yahya bin Said Al Qattan…………(wafat 198 H) (814 M)
Affan bin Muslim………………….. (wafat 219 H) (834 M), dan lain-lain.

Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka, diantaranya :
Ahmad bin Hambal *………..(wafat 241 H) (856 M) Hambali
Yahya bin Ma’in………………….. (wafat 233 H) (848 M)
Ali Ibnul Madini………………….. (wafat 234 H) (849 M), dan lain-lain.

Kemudian murid-murid mereka seperti :
Al Bukhari +…………………… (wafat 256 H) (870 M)
Muslim +………………….(wafat 261 H) (875 M)
Abu Zur’ah……………………….. (wafat 264 H) (878 M)
Ad Daarimi………………………. (wafat 255 H) (869 M)
Abu Dawud +…………………..(wafat 275 H) (889 M)
Abu Hatim Ar Razy…………….. (wafat 277 H) (890 M)
At Tirmidzi +……………………..(wafat 279 H) (892 M)
An Nasa’i +…………………….. (wafat 303 H) (915 M)
Ibnu Hibban Al Busty………….. (wafat 304 H) (917 M), dan lain-lain

Orang-orang generasi berikutnya yg berjalan pada manhaj mereka :
Ibnu Jarir At Thabari………….. (wafat 310 H) (922 M)
Ibnul Khudzaimah……………… (wafat 316 H) (928 M)
Ibnu Majah +………………….. (wafat 333 H) (944 M)
At Thabarany…………………… (wafat 360 H) (970 M)
Ibnu As Sunni…………………….. (wafat 364 H) (974 M)
Ad Daruquthni………………….. (wafat 385 H) (995 M)
Al Hakim………………………… (wafat 405 H) (1014 M)
Abu Muhammad bin Hazm……(wafat 456 H) (1064 M)
Al Baihaqy………………………. (wafat 458 H) (1066 M)
Ibnul Abdil Barr………………….. (wafat 463 H) (1071 M)
Al Khatib Al Baghdady………… (wafat 463 H) (1071 M)
Abdul Qadir Jailani………………(wafat 561 H) (1166 M)
Ibnu ‘Asakir………………………. (wafat 571 H) (1176 M)
Ibnu Al Atsir……………………… (wafat 606 H) (1210 M)
Ibnul Qudamah…………………. (wafat 620 H) (1223 M)
Al Mundziri……………………… (wafat 656 H) (1258 M)
An Nawawy……………………… (wafat 676 H) (1277 M)
Ibnu As Shalah…………………….(wafat 743 H) (1342 M)
Ibnu Taimiyyah…………………. (wafat 728 H) (1327 M)
Al Muzzi………………………(wafat 743 H) (1342 M)
Adz Dzahaby…………………….. (wafat 748 H) (1347 M)
Ibnul Qoyyim Al Jauziah……….(wafat 751 H) (1350 M)
As Subki………………………….. (wafat 756 H) (1355 M)
Ibnu Katsir……………………… (wafat 774 H) (1372 M)
Ibnu Rajab Al Hambali ………… (wafat 795 H) (1393 M)
Al Iraqi…………………………… (wafat 806 H) (1404 M)
Ibnu Hajar Al ‘Asqalany……….(wafat 852 H) (1448 M)
As Suyuthi………………………… (wafat 911 H) (1505 M)
Ash Shan’ani……………………… (wafat 1182 H) (1768 M)
Muh. bin Abdul Wahhab……….(wafat 1206 H) (1791 M)
Asy Syaukany……………………… (wafat 1250 H) (1834 M)
Abdu Al Hayyi Al Laknawi…… (wafat 1304 H) (1887 M)
Abdullah bin Ja’far Al Kattany…(wafat 1345 H) (1927 M)
Muh. Rasyid Ridha…………….. (wafat 1354 H) (1935 M)
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di…….. (wafat 1376 H) (1957 M)
Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi…….. (Ahli Hadist abad 20) (wafat 2001 M)
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz……….. (Ahli Hadist abad 20) (wafat 1999 M)
Muh. bin Shaleh Al Utsaimin……………. (Ahli Hadist abad 20) (wafat 1999 M)
Muh. Nashiruddin Al Albani…………….. (Ahli Hadist abad 20) (wafat 1999 M)

novybanjo.blog.friendster.com (dengan sedikit edit)

Salim bin Abdullah

Salim bin Abdullah,Ingin Membangun Rumah di Akhirat
Sumber:sabili.co.id

Tak hanya dikenal karena keilmuannya yang mumpuni, hingga masuk sebagai salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah. Salim bin Abdullah menuai decak kagum disebabkan kezuhudannya.

Dia adalah Salim bin Abdullah bin Umar bin Al-Khathab, seorang imam yang zuhud, memiliki hafalan mumpuni, dan merupakan mufti kota Madinah. Ayah dari Umar dan Abdullah ini dilahirkan pada zaman kekhilafahan Utsman bin Affan. Tabi’in berkuniyah (julukan) Abu Umar ini memiliki ibu bernama Ummu Walad.

Mengenai keluarganya, Said bin Al-Musayyib berkata, “Putra Umar bin Al-Khathab yang paling mirip dengannya adalah Abdullah, dan anak Abdullah yang paling mirip dengannya adalah Salim. Salim termasuk salah satu tabi’in senior yang paling berilmu dan terpercaya.

Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya, Aisyah, Abu Hurairah dan dari yang lainnya lagi. Sedangkan yang meriwayatkan hadits dari Salim adalah, anaknya yang bernama Abu Bakar, lalu Yahya bin Abu Ishaq Al-Hadhrami, Az-Zuhri dan Ubaidillah bin Umar. Di antara sifat-sifat kepribadiannya adalah; selalu menjaga harga diri, zuhud, dan lebih mementingkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Bahkan dikatakan, pada zamannya, orang-orang mengenalnya disebabkan kezuhudan dan sifat wara’nya. Imam Malik berkomentar mengenainya, “Pada zamannya, tidak ada seorang pun yang lebih menyerupai orang-orang saleh terdahulu dalam hal kezuhudan, keutamaan, dan pola kehidupan kecuali Salim.”

Berkenaan dengan kezuhudan yang menjadi ‘trademark’-nya Salim, Hisyam bin Abdul Malik mengisahkan, ketika sedang menunaikan ibadah haji, dia memasuki Ka’bah dan mendapati Salim bin Abdullah. Hisyam berkata kepadanya, “Wahai Salim, mintakanlah kepada Allah agar memenuhi keperluanku.” Salim menjawab, “Aku malu kepada Allah untuk meminta sesuatu di rumah-Nya untuk orang lain.” Lalu ketika Salim keluar, Hisyam pun keluar membuntutinya. Hisyam berkata lagi, “Sekarang engkau telah keluar dari Baitullah, maka mintakanlah kepada Allah agar memenuhi keperluanku.” Salim bertanya, “dari keperluan-keperluan dunia atau dari keperluan-keperluan akhirat?” Hisyam menjawab, “Dari keperluan-keperluan dunia.” Salim menegaskan, “Aku tidak pernah meminta dunia dari Sang Pemiliknya. Jika demikian, bagaimana bisa meminta dunia kepada orang yang bukan pemiliknya?”

Saking lebih memprioritaskan akhirat, maka tak heran jika Salim menjalani kehidupan dengan kasar. Ditambah lagi, Salim tidak pernah meminta bantuan orang lain dalam hal keduniaan. Dia mengenakan baju dari wol yang kasar, menggarap tanahnya dengan sendiri, dan melakukan semua pekerjaannya dengan sendiri. Tak hanya itu, tabi’in yang sangat tawadhu’ ini tidak pernah mau menerima apapun dari para penguasa. Meski demikian, Salim sangat menjaga kekerabatan.

Pada Hari Arafah, Hisyam bin Abdul Malik bertemu dengan Salim. Hisyam melihatnya mengenakan pakaian yang tembus pandang, sehingga nampaklah lemak di tubuhnya. Hisyam berkata, “Wahai Abu Umar (kuniyahnya Salim), apa saja makananmu?” Salim menjawab, “Roti dan minyak.” Hisyam terperangah seraya berkata, “Bagaimana bisa roti disatukan dengan minyak?”“Aku menyatukannya, jika kemudian selera makanku timbul karenanya, maka aku memakannya,” tandas Salim. Hisyam berkata, “Pada hari itu Salim terserang demam, dan masih demam hingga tiba di Madinah.” Dari sini nampak, Salim hidup prihatin, dan tidak pernah dipusingkan dengan urusan keduniaan. Dia tidak memiliki harta, jabatan, dan apapun yang sifatnya duniawi.

Bahkan diriwayatkan, saking zuhudnya Salim, sampai-sampai dia tidak pernah mengumpulkan apapun kecuali hanya untuk kehidupan akhirat. Menurutnya, fondasi rumahnya tidak setara dengan apapun. Dia lebih memilih untuk menyiapkan rumah di akhirat. Seorang tabi’in lain bernama Maimun bin Mahran pernah masuk ke rumah Salim dan mengumpulkan semua yang ada di rumahnya, lalu Maimun menyatakan bahwa semua yang dikumpulkan tidak mencapai nilai 100 Dirham.

Tidak hanya terkenal dengan kezuhudannya, Salim merupakan salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah. Dengan keilmuan yang dimilikinya, dia adalah tempat bertanya dan meminta fatwa para penduduk Madinah. Ali bin Al-Hasan menyatakan, dari Abdullah bin Al-Mubarak, dia berkata, “Ahli fikih Madinah yang selalu memunculkan pernyataan dari pendapat mereka ada tujuh orang, yaitu Sa’id bin Al-Musayyib, Sulaiman bin Yassar, Salim bin Abdullah, Al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Az-Zubair, Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Atabah, dan Kharijah bin Zaib bin Tsabit.”

Mengingat kapabilitas keilmuan yang dimiliki, Salim kerap diminta untuk memberi nasehat kepada para ulama Muslim. Dia terus menjadi penasehat spiritual kaum muslimin ketika itu sampai akhirnya Allah memanggilnya pulang ke rahmatullah para bulan Dzulhijjah tahun 106 Hijriyah. Tumbuh dan besar di Madinah, dia pun wafat dan dimakamkan di Madinah. (Syifa Annisa)

Said bin al-Musayyib

Hai Sobat kenalan yuk dengan tokoh kita hari ini…. Tokoh yang pantas kita kenali lebih dekat karena beliau seorang yang berpengetahuan luas karena kepakaran ilmunya, beliau terkenal di kalangan intelektual dan para cendekia.



Nama Lengkapnya

Nama beliau adalah Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahab bin Amru bin A’id bin Imran bin Makhzum Al-Qurasy Al-Mahzumi Al-Madani, panggilannya adalah abu muhammad al-madani beliau adalah salah satu pembesar para tabi’in.



Lahir dan wafatnya

Said bin Al-Musayyib dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah umar bin khattab. Sedangkan wafatnya, dari Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib meninggal dunia di madinah pada tahun 94 Hijriah pada masa pemerintahan khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Pada saat meninggal dunia, dia berumur 75 tahun. Tahun dimasa said meninggal dunia disebut sebagai sanah al-fuqaha’(tahun bagi ulama’ fikih) kerena pada saat itu banyak ahli fikih yang meninggal dunia.” Ilmu Pengetahuannya

Said bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di madinah pada masanya dan yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama’ fiqih.

Abu Tholib berkata, “Aku penah bertanya kepada imam ahmad bin hanbal, “Siapakah said bin Al-Musayyib? “Dia menjawab, “Siapa yang menandingi said bin Al-Musayyib? Dia adalah orang yang dapat dipercaya dan termasuk orang yang sholeh.

Aku bertanya lagi, “Apakah riwayat Said dari Umar bin Khattab dapat dijadikan hujjah? “Dia menjawab, “Dia adalah hujjah bagi kita, dia pernah melihat Umar bin Al-Khattab dan banyak mendengar hadits darinya. Kalaulah riwayat Said dari Umar tidak diterima, siapa lagi yang dapat diterima?”

Dari malik dia berkata, “sesungguhnya Al-Qosim bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang suatu permasalahan, lalu dia berkata, “Apakah anda telah bertanya pada orang selainku? “Orang itu menjawab, “Ya, sudah, aku bertanya kepada Urwah dan Said bin Al-Musayyib, “Lalu dia berkata, “Ikutilah pendapat Said bin Al-Musayyib karena dialah guru dan pembesar kami.”

Dari Abu Ali bin Al-Husain, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib adalah orang yang paling luas wawasan keilmuannya tentang hadits-hadits dan perkataan para sahabat disamping itu dia juga orang yang paling mumpuni pendapatnya.”



Ibadahnya

Dari Utsman bin Hukaim,dia berkata, “Aku pernah mendengar Said bin Musayyib berkata, “Selama 30 tahun, setiap kali para muadzin mengumandangkan adzan, pasti aku sudah berada di dalam masjid”.

Dari Abdul Mu’in bin Idris dari ayahnya, ia berkata,”Selama 50 tahun Said bin Musayyib melaksanakan sholat subuh dengan wudhu’ sholat isya’. Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam sholat selama lima tahun (sholat diawal waktu). Aku juga tidak pernah melihat punggung para jama’ah, karena aku selalu berada di barisan terdepan selama lima tahun itu.

Ia menunaikan haji sekitar 40 tahun ia tidak pernah terlambat dari takbir pertama di masjid Rasul. Tak pernah diketahui darinya bahwa ia melihat tengkuk seseorang dalam sholat sejak itu selamanya, karena ia selalu berada di shof pertama. Ia dalam kelapangan rizki, sehingga bisa menikah dengan wanita quraisy manapun yang ia kehendaki. Namun, ia lebih memilih putri Abu Hurairah, karena kedudukannya di sisi Rasulullah, keluasan riwayatnya dan keinginannya begitu besar dalam mengambil hadits.



Sanjungan ulama’ mengenai beliau

Said bin Al-Musayyib adalah ulama’ yang sudah terkenal dengan kefaqihannya, maka banyak komentar-komentar para ulama’ menganai beliau diantaranya:

Sa’id bin Musayyib termasuk salah satu Fuqaha dari tujuh Fuqahaa’u Sab’ah di Madinah (sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qoyyim), mereka itu adalah:
Sa’id bin Al-Musayyab,
‘Urwah bin Az-Zubair,
Al-Qasim bin Muhammad,
Kharijah bin Zaid,
Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hasyim,
Sulaiman bin Yasaar,
‘Ubaidllah bin Abdullash bin ‘Utbah bin Mas’ud [1]

Qotadah berkata: Saya tidak menemukan seseorang yang lebih pandai dalam masalah halal dan haram dari sa’id bin musayyib.

Sulaiman bin Musa berkata: Said bin musayyib adalah salah satu tabi’in yang terfaqih.

Ali bin Al-Madani berkata: “Aku tidak menemukan para tabi’in yang lebih luas wawasannya dari Said bin Al-Musayyib. Menurutku, dia adalah tabi’in yang paling terhormat dan mulia.

Berkata Utsman Al-Harits: Saya mendengan Ahmad bin hanbal berkata: seutama-utama tabi;in adalah Said bin Al-Musayyib, kemudian salah seseorang berkata bagaimana dengan alqomah dan aswad? Kemudian dijawab: Said bin Al-Musayyib dan Alqomah dan Aswad.

Abu zur’ah berkata: “Dia termasuk orang pandai bergaul, bersal dari suku quraisy dan dapat dipercaya. Selain itu, said juga seorang imam.

Berkata Abi ibnu al-madini: saya tidak mengetahui diantara para tabi’in yang lebih luas ilmunya dari pada Said bin Al-Musayyib.

Ahmad bin abdullah al-’ajali berkata: “Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang sholeh, ahli fiqh dan tidak mau mengambil begitu saja suatu pemberian (hadiah). Dia pernah mempunyai barang perniagaan senilai 400 dinar, dengan jumlah itu ia berdagang minyak. Dia adalah seorang yang buta sebelah matanya.[2]



Kewibawaan dan perjuangannya membela kebenaran

Dari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Said mempunyai hak atas harta yang ada di baitul mal sebanyak tiga puluhan ribu. Dia diundang untuk mengambilnya, akan tetapi dia menolaknya. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, hingga Allah berkenan memberikan keputusan yang adil antara aku dan bani marwan.

Dari Ali bin Zaid berkata, “seseorang pernah berkata kepada said bin al-musayyib, “apa pendapat anda tentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi yang tidak pernah mengutus seseorang kepada anda dan tidak pula menyakiti anda? “Said menjawab , “Demi Allah, hanya saja dia pernah masuk masjid dengan ayahnya, kemudian melakukan sholat yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Lalu, aku segera mengambil segenggam kerikil dan aku lemparkan kepadanya dan Al-Hajjaj pun berkata, “Aku merasa telah melakukan sholat dengan baik.

Ibnu saat dalam kitab ath-thabaqot dari malik bin anas mengtakan, “pada saat Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai kholifah, dia tidak pernah memutuskan suatu perkara kecuali setelah meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Said bin Al-Musayyib.

Pada suatu ketika, khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, penglawal tersebut mengundangnya dan mengjaknya datang ke istana, setelah said datang, umar bin abdul aziz buru-buru berkata. “utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin menanyakan kepadamu tentang suatu permasalahan di majelismu,”

Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan allah dari seekor lalat.”



Guru-gurunya

Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Barra’ bin ‘Azib, Bashrah bin Aktsam Al-Anshori, Bilal budaknya Abu Bakar Ash-Shiddiq, Jabir bin Abdillah, Jubair bin Muth’im, Hasan bin Tsabit, Hakim bin Hazam, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Kholid Al-Juhni, Sarakah bin Malik Binji’syim, Saat bin Ubadah, Saat bin Abi Waqqas, Shofwan bin Umayah, Suhaib bin Sinan, Dhohhak bin Sufyan, Amir bin Abi Umayah, Amir bin Saad bin Abi Waqqos, Abdullah bin Zaid bin Ashim Al-Mazini, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin Utsman At-Taimi, Utab bin Usaid, Utsman bin Abi Ash, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Umar bin Khattab, Musayyib bin Hazn(Bapaknya), Muawiyyah bin Abi Shofyan,Makmar bin Abdullah bin Nadhlah, Nafi’, Abu Bakar As-Shidiq, Abi Tsa’labah Al-Husni, Abu Darda’, Abu Dzar Al-Gifari, Abu Said Al-Hudri, Abu Qotadah Al-Anshori, Abi Musa Al-Asy’ari, Abi Hurairah,

Disamping itu juga beliau berguru kepada istri nabi. Seperti Aisyah, dan Ummu Salamah, dan lain-lain.



Murid-muridnya

Sedangkan murid-muridnya adalah Idris bin Shobih Al-Auda, Usamah bin Zaid Al-Laisi, Ismail bin Umayah, Basir bin Muharrar, Bakir bin Abdullah bin Asyja’, Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dabab, Hasan bin ‘Athiah, Al-Hudrami bin Lahiq, Kholad bin Abdirrahman Ash-Shn’ani, Dawud bin ‘Asim bin Urwah bin Mas’ud Asy-Syaqofi, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam, Zaid Al-Bashari, Abdulwahid bin Zaid, Salim bin Abdullah bin Umar, Saad bin Ibrahim, Said bin Khalid bin Abdullah bin Qorid Al-Qoridho, Said bin Yazid Al-Bashori, Syarik bin Abdullah bin Damar, Sholeh bin Abi Hasan Al-Madani, Shofwan bin Salim, Thoriq bin Abdurrahman, Thalak bin Habib, Abu Zanad Abdullah bin Dakwan, Abdullah bin Qosim At-Taimi, Abdullah bin Muhammad Bin Uqail, Abdullah bin Qoyyis At-Tajibi. Dan masih banyak lagi murid-muridnya yang lain yang tidak disebutkan disini.



Beberapa nasehat Sa’id bin Musayyib

Keterangan dari ‘Alî bin Zaid dari Sa’îd bin Al Musayyib beliau berkata: “Setan tidak akan berputus asa dari suatu hal kecuali dia akan datang melalui wanita.” Dan Sa’îd berkata kepada kami ketika umur beliau delapan puluh empat tahun dan sebelah matanya sudah rusak dan kabur sebelah yang lainnya, “Tidaklah ada sesuatu yang lebih aku takuti dari pada wanita.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Berkata Sa’îd bin Al Musayyib: “Sesungguhnya dunia itu hina, dan ada kecondongan kepada setiap kehinaan, dan yang paling hina darinya ialah orang yang mengambilnya tanpa haknya, dan mencarinya dengan tanpa jalan yang benar dan meletakkannya pada jalan selain jalannya.”



Beberapa Hadits yang Diriwayatkan Sai’d bin Musayyib

Sa’id bin Musayyib meriwayatkan hadits-hadits secara mursal dari Rasulullah, diantaranya;

- Dari Sa’id bin Musayyib, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw besarbda:

(( ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ وَإِنْ صَامَ وَإِنْ صَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ : مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَ إِذَا ائْتُمِنَ خَانَ ))

“Tiga perkara, jika tedapat dalam diri seseorang maka dia layak disebut sebagai seorang munafik (meskipun melaksanakan siyam dan shalat dan mengklauim dirinya Muslim); Jika berkata berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat.”[3]

- Dari Sa’id bin Musayyib bin Hazn, bahwa kakeknya (Hazn) mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu Nabi bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”, dia menjawab, “Hazn (sedih).” Nabi berkata, “Bagaimana jika namamu diubah dengan Sahl (mudah)?”. Hazn berkata, “Saya tidak mengganti nama yang telah diberikan oleh kedua orang tua saya, sehingga akupun dikenal di kalangan masyarakat dengan sebutan nama tersebut.” Sa’id bin Musayyib berkata, “Karenanya sampai masa kami, keluarga kami dikenal oleh Ahlul Bait dengan sebutan al-Hazunah (keturunan Hazn).” [4]

[1] ( Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Manna’ul Qaththan, hlm, 294, Maktabah Wahbah)

[2] . tahdzib al-kamal 11/74.

[3] – HR. Ahmad (3/no. 9169), Muslim (105) dan Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan sanad yang berbeda dalam al-Iman (33).

[4] – HR. Ahmad (9/, no. 23734), al-Bukhari dalam Adab Mufrad no. 6190 dan al-Baihaqi (9/307).

Muhammad bin Syihab Az-Zuhri

Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
Sumber:sabdaislam.wordpress.com

Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Muslim bin Abdullah, alim dan ahli fiqh. Al-Laits bin Sa’ad berkata: “Aku belum pernah melihat seorang alimpun yang lebih mumpuni dari pada az-Zuhri, kalau ia berbicara untuk memberi semangat, tidak ada yang lebih baik dari pada dia, bila dia berbicara tentang sunnah dan al-Qur’an pembicaraanya lengkap“.

Ibnu Syihab az-Zuhri tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam, reputasinya menyebar sehingga ia menjadi tempat berpaling bagi para ulama Hijaz dan Syam. Selama delapan tahun Ibnu Syihab az-Zuhri ia tinggal bersama Sa’id bin Al-Musayyab di sebua desa bernama Sya’bad di pinggir Syam. Disana pula ia wafat.

Ia membukukan banyak hadits yang dia dengan dan dia himpun. Berkata Shalih bin Kisan:” Aku menuntut ilmu bersama az-Zuhri, dia berkata: mari kita tulis apa yang berasal dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam, pada kesempatan yang lain dia berkata pula: “Mari kita tulis apa yang berasal dari Sahabat”, dia menulis dan aku tidak. Akhirnya dia berhasil dan aku gagal”. Kekuatan hapalan dan kecermatan az-Zuhri dapat disimak oleh Hisyam bin Abdul Malik pernah ia meminta untuk mendiktekan kepada beberapa orang anaknya, dan az-Zuhri ternyata mampu mendiktekan 400 hadits. Setelah keluar dari rumah Hisyam dan kepada yang lainpun ia menceritakan 400 hadits tersebut. Setelah sebulan lebih ia bertemu lagi dengan az-Zuhri, Hisyam berkata kepadanya “Catatanku dulu itu telah hilang “, kali ini dengan memanggil Juru tulis az-Zuhri mendiktekan lagi 400 hadits tersebut. Hisyam mengagumi kemampuan az-Zuhri,.

Kecermatan dan penguasaan hadits oleh az-Zuhri membuat Amr bin Dinar mengakui keutamaanya dengan berkata :”Aku tidak melihat ada orang yang yang pengetahuannya terhadap hadits melebihi az-Zuhri”.

Az-Zuhri memang selalu berusaha keras untuk meriwayatkan hadits, ada yang berkata bahwa az-Zuhri menghimpun hadits jumlahnya mencapai 1.200 hadits, tetapi yang musnad hanya separuhnya.

Az-Zuhri meriwayatkan hadits bersumber dari Abdullah bin Umar, Abdullah bin Ja’far, Shal bin Sa’ad, Urwah bin az-Zubair, Atha’ bin Abi Rabah. Ia juga mempunyai riwayat riwayat yang mursal dari Ubadah bin as-Shamit, Abu Hurairah, Rafi’ bin Khudaij, dan beberapa lainnya.

Imam bukhari berpendapat bahwa sanad az-Zuhri yang paling shahih adalah az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya. Sedangkan Abu Bakar bin Abi Syaibah menyatakan bahwa sanadnya yang paling shahih adalah az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari bapaknya dari kakeknya (Ali bin Abi Thalib)”.

Ia wafat di Sya’bad pada tahun 123 H, ada yang mengatakan ia wafat tahun 125 H.

Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)

Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah. Nama yang sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi. Imam Abu Hanafih adalah seorang imam Mazhab yang besar dalam dunia Islam. Dalam empat mazhab yang terkenal tersebut hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab. Beliau keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa Ajam. Pendirian beliau sama dengan pendirian imam yang lain, iaitu sama-sama menegakkan Al-Quran dan sunnah Nabi SAW. Kemasyhuran nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana, ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah.


Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah.

Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keredhaan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.

Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut

Sebahagian dilukiskan dalam sebuah hadith Rasulullah SAW bahawa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan. Kumpulan pertama adalah terdiri orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini mahu merosak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mahu mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mahu mencegah perbuatan orang-orang yang mahu membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat.

Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia diseksa, dipukul dan sebagainya.

Gubernur di Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mahu menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.

Pada waktu yang lain Gabenor Yazid menawarkan pangkat Kadi (hakim) tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, kerana itu timbul rasa curiganya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya.

Pada suatu hari Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan rasmi oleh Gabenor.

Ketika itu gabenor menetapkan Imam Hanafi menjadi Pengetua jawatan Sekretari gabenor. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk wang negara. Gabenor dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu nescaya ia akan dihukum dengan pukulan.”

Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jawatan itu, bahkan ia tetap tegas, bahawa ia tidak mahu menjadi pegawai kerajaan dan tidak mahu campur tangan dalam urusan negara.

Kerana sikapnya itu, akhirnya ditangkap oleh gabenor. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gabenor menawarkan menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan.

Walaupun demikian ketika Imam Hanafi diseksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua negaranya bernama Abu Abbas as Saffah.

Pada tahun 132 H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan ketua negara yang baru bernama Abi Jaafar Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Ketika itu Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani. Ahli fikir yang cepat dapat menyelesaikan sesuatu persoalan.

Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”

Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.

Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?”

Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin.
Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu.”

Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”

Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, iaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut.

Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mahu menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan.

Imam Syarik menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri.

Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat.

Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.

Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan Abbasiyah adalah kerana beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka seksa hingga meninggal, kerana Imam Hanafi menolak semua tawaran yang mereka berikan.

Sepanjang riwayat hidupnya, beliau tidak dikenal dalam mengarang kitab. Tetapi madzab beliau Imam Abu Hanifah atau madzab Hanafi disebar luaskan oleh murid-murid beliau. Demikian juga fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para murid dan pengikut beliau sehingga madzab Hanafi menjadi terkenal dan sampai saat ini dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’iy.

sumber: http://www.geocities.com/Athens/Acropolis/9672/imam4.htm

Muhammad bin Sirin

Ditulis oleh Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya
Rabu, 20 Oktober 2010 13:02 (sumber:alislamu.com)


Sirin berhasrat menyempurnakan separuh dari agamanya dengan menikah setelah Anas bin Malik r.a. membebaskannya dari belenggu perbbudakan dan setelah pekerjaannya mendatangkan banyak keuntungan, karena dia memang seorang ahli membuat periuk.

Jatuhlah pilihannya pada budak wanita Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Shafiyah untuk dijadikan pendamping hidupnya. Shafiyah adalah seorang gadis muda yang cerah wajahnya, baik hatinya. Pandai dan sangat disayangi penduduk Madinah yang mengenalnya. Gadis-gadis remaja dan orang-orang tua yang melihatnya memiliki pandangan yang sama bahwa dia adalah seorang wanita yagn berpikiran cemerlang dan berbudi luhur. Yang paling menyayangi beliau adalah istri-istri Rasulullah saw., terutama ummul mukminin Aisyah r.a. Pada hari yang telah direncanakan, Sirin menghadap khalifah Rasulullah saw, Abu Bakar Ash-Shidiq untuk meminang Shafiyah. Abu Bakar segera menyelidiki hal ihwal si peminang seperti layaknya seorang ayah manakala putrinya hendak dipinang orang.

Tidak aneh, karena kedudukan Shafiyah bagi Abu Bakar laksana putri bagi ayahnya, disamping ia adalah amanat yang dititipkan Allah kepadanya. Oleh karena itu beliau meneliti keadaan Sirin dengan cermat dan mempelejari kehidupannya dengan hati-hati. Di antara yang dimintai keterangan tentangnya adalah Anas bin Malik r.a. Ketika ditanya, Anas menjawab, “Nikahkan lah ia dengan budakmu wahai amirul mukminin, dan janganlah engkau mengkhawatirkan keadaannya, saya tidak mengenalnya melainkan bahwa dia adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya dan menjaga kehormatannya. Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat beruntung mendapatkan dia.”

Akhirnya Abu Bakar Ash-Shidiq merestui pernikahan antara Shafiyah dengan Sirin. Maka diselenggarakanlah walimah pernikahan seperti halnya walimah untuk putrinya sendiri. Suatu hal yang sangat jarang dinikmati oleh budak atau pembantu wanita lainnya di Madinah.

Pernikahan itu disaksikan oleh banyak sahabat utama, di antaranya terdapat 18 sahabat yang ikut perang Badar. Ubai bin Ka’ab penulis wahyu Rasulullah saw. diminta untuk mendo’akannya sementara hadirin mengamininya.

Pengantin wanita dirias oleh tiga dari ummahatul mukminin untuk suaminya. Di antara buah dari pernikahan itu lahir seorang bayi yang dua puluh tahun kemudian menjadi satu di antara ulama yang tersohor. Dialah Muhammad bin Sirin. Marilah kita ikuti lembaran hidup tabi’in utama ini dari awal.

Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan r.a. dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara’ di setiap sudutnya.

Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.

Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadits Rasulullah saw. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.

Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Bashrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.

Ketika itu, Bashrah termasuk kota Baru yang dibangun kaum muslimin pada akhir masa khalifah Al-Faruq Umar bin Khathab r.a. Kota tersebut merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah, sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan hendak mati keesokan harinya.

Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Bashrah dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.

Telah menjadi kebiasaan beliau, ketika matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Bashrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Al-Qur’an dengan sepenuh jiwa sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai keluarga dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.

Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan manusia akan kehidupan akhirat dan menjelaskan akan hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mendekatkan diri kepada Allah. Beliaulah yang selalu menjadi penengah bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau menghibur dengan cerita-cerita yang menghibur hati yang gundah dan lelah tanpa menjatuhkan wibawanya di hadapan para sahabatnya.

Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah mengambil hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila seseorang sedang lupa diri segera sadar begitu melihat Ibnu Sirin di pasar, mereka ingat kepada Allah, kemudian bertahlil serta bertakbir.

Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau harus rugu secara materi untuk itu.

Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama, wawasan yang tajam untuk membedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Adakalanya sikap beliau mengundang keheranan bagi sebahagian orang.

Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin berhutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau membayarnya, lalu orang itu menantang, “Engkau berani bersumpah?” orang itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun tenryata beliau menyanggupi dan ia bersumpah. Orang-orang berkata, “Wahai Abu Bakri, mengapa engkau rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu.” Beliau menjawab, “Aku bersumpah karena tidak ingin jika dia makan harta yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram baginya.”

Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian dan nasihat. Jika orang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.

Bahkan pernah beliau mendengar seseorang mamaki Hajjaj bin Yusuf setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, “Tahanlah wahai putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabb-nya. Saat engkau datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa bahwa dosa terkecil yang kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.”

Ketahuilah wahai putra saudaraku, Allah akan menuntut Hajjaj atas kezhalimannya terhadap orang-orang, namun Allah juga akan menuntut orang-orang yang menzhalimi Hajjaj. Maka janganlah engkau sibukkan dirimu untuk memaki dan mencela orang sesudah ini.”

Sudah menjadi kebiasaan jika ada orang yang berpamitan kepada beliau untuk pergi berdagang belia berpesan, “Wahai putra saudaraku, bertakwalah kepada Allah dan carilah apa yang ditakdirkan untukmu dari jalan yang halal. Ketahuilah, kalaupun engkau mencari jalan yang tidak halal, toh engkau tidak akan memperoleh kecuali apa yang tidak ditakdirkan untukmu.”

Kalimat yang benar senantiasa ditegakkan Muhammad bin Sirin di hadapan para penguasa Bani Umayah. Beliau secara tulus mewujudkan nasihat bagi Allah, Rasul dan imam-imam kaum muslimin.

Sebagai bukti dari kesimpulan di atas adalah, ketika Umar bin Hubairah Al-Farazi yang diangkat menjadi gubernur Irak, pernah meminta Ibnu Sirin menemuinya, lalu beliau datang bersama saudaranya. Sang wali menyambutnya dengan penuh hormat kemudian bertanya banyak tentang agama dan dunia. Dia berkata, “Dalam kondisi seperti apa Anda akan tinggalkan kota Bashrah, wahai Abu Bakri?” beliau berkata, “Akan aku tinggalkan kota dimana kezhaliman telah merajalela sedangkan Anda tidak menghiraukannya.” Saudaranya mencubit kaki Ibnu Sirin demi mendengar jawaban seperti itu, tapi beliau menoleh kepadanya, “Bukan engkau yang ditanya, melainkan aku. Ini adalah kesaksian, ‘Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.’ (Al-Baqarah: 253).”

Usai pertemuannya, beliau dilepas kepergiannya seperti sambutan ketika datangnya, dengan penuh santun dan rasa hormat. Lalu dihadiahkanlah sekantong uang berisi 3000 dirham dari kas negara, tapi sama sekali tak disentuhnya. Bertanyalah anak saudaranya, “Apa yang menghalangimu untuk menerima hadiah dari amir itu?” Beliau berkata, “Dia memberi karena mengira aku orang baik. Bila benar aku orang baik, tidak pantas aku mengambil uang itu. Namun jika aku tidak seperti yang dia duga, tentu lebih layak lagi untuk tidak mengambilnya…”

Allah berkehendak menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin berupa cobaan seperti yang telah menimpa orang-orang mukmin lain.

Satu contoh dari ujian tersebut adalah peristiwa dimana beliau membeli minyak seharga 40.000 dirham sebanya satu bejana penuh dibayar belakangan. Ketika diperiksa ternyata ada bangkai tikus yang sudah membusuh di dalamnya. Dia pikir, “Minyak ini ditampung dalam satu wadah dan najisnya tidak hanya di sekitar bangkai itu. Jika aku kembalikan kepada penjualnya, pasti akan dijual kepada orang lain.” Maka dibuangnya semua minyak di bejana tersebut. Ini terjadi di saat perniagaannya rugi cukup besar. Akhirnya beliau terbelit hutang, pemilik minyak menagih hutangnya sedangkan beliau tak mampu membayarnya, lalu orang itu mengadukan persoalan tesebut kepada yang berwenang. Akhirnya diperintahkan beliau dipenjara sampai bisa mengembalikan hutangnya.

Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata, “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai Anda bebas nanti.’ Beliau menolak, “Tidak, demi Allah aku tidak akan melakukan itu.” Penjaga berkata, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah.”

Ketika Anas bin Malik sakit keras, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya kelak Muhammad bin Sirin, sekaligus menshalatkannya. Tapi Ibnu sirin masih berada dalam tahanan.

Hari dimana Anas wafat, orang-orang mendatangi wali dan menceritakan tentang wasiat sahabat Rasulullah saw. dan memohonkan izin untuk Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiatnya. Namun beliau berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian mengijinkan aku kepada orang yang aku hutangi, bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar hutangnya?”

Orang yang dihutangi pun memberikan izin sehingga ia bisa keluar dari tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengkafani dan menshalatkan jenazah Anas r.a, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa sedikitpun mengambil kesempatan untuk mampir menengok keluarganya.

Usia Muhammad bin Sirin mencapai 77 tahun. Dalam wafatnya didapati bahwa beliau ringan dari beban dunia dan penuh pembekalan untuk hidup setelah mati. Hafshah binti Rasyid yang dikenal sebagai ahli ibadah bercerita, “Marwan Al-Mahmali adalah tetangga kami yang rajin beribadah dan tekun melaksanakan ketaatan-ketaatan. Tatkala beliau meninggal kami bersedih, lalu aku melihatnya di dalam mimpi dan aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apa yang dilakukan Rabb-mu di terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah memasukkan aku ke dalam surga.” Aku katakan, “Kemudian apa?” Dia menjawab, “Kemudian aku diangkat ke derajat ashhabul yamin.” Aku bertanya, “Lalu apa lagi?” Dia menjawab, “Lalu aku diangkat ke derajat muqarrabin.” Aku bertanya, “Siapa yang kamu lihat di sana?” Ia menjawab, “Aku melihat Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin.”

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 115-121

Kisah al-Hasan al-Basri Rah.a (Tabi'in)

"Bermain di Antara Wewangian Kenabian"

"Bagaimana mungkin suatu kaum bisa tersesat kalau di antara mereka ada al-Hasan al-Bashri?!" (Maslamah bin Abdul Malik)

Datanglah seorang pembawa khabar gembira untuk menyampaikan berita gembira kepada istri Nabi Ummu Salamah, bahwa budak perempuannya "Khairah" telah melahirkan anak laki-laki. Maka berbunga-bungalah hati Ibu kaum mu'minin RA, dan kegembiraan itu telah membuat wajahnya yang cakap dan wibawa bersinar-sinar. Beliau segera mengutus utusan supaya ibu dan anaknya dibawa kepadanya untuk mengisi waktu nifas di rumahnya. Waktu itu Khairah sangat dimuliakan dan dicintai oleh Ummu Salamah. Beliau ingin segera melihat anak yang baru lahir. Tidak lama kemudian datanglah Khairah dengan menggendong anaknya. Ketika kedua mata Ummu Salamah melihat anak bayi ini, hatinya merasa sayang dan lega. Anak kecil yang baru lahir sangat tampan dan ganteng, jauh pandangannya, sempurna ciptaannya, menyenangkan orang yang melihatnya dan memikat orang yang memandangnya. Kemudian Ummu Salamah mengarahkan pandangannya ke arah budak perempuannya dan berkata, "Apakah kamu telah memberinya nama, wahai Khairah?" Khairah menjawab, "Belum wahai Ibu. Masalah nama saya serahkan kepada engkau, supaya engkau memilih nama yang engkau sukai." Lalu Ummu Salamah berkata, "Kami memberinya nama dengan memohon barakah dari Allah 'al-Hasan.'" Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo'a memohon kebaikan. Kegembiraan dengan lahirnya Al-Hasan bukan hanya sebatas di rumah Ummul mu'minin Ummu Salamah RA saja, akan tetapi juga sampai ke rumah yang lain di Madinah. Yaitu rumah seorang sahabat besar Zaid bin Tsabit, juru tulis wahyu Rasulullah SAW. Kaitannya, karena "Yasar" ayah anak bayi ini adalah budaknya juga dan termasuk orang yang paling dia hormati dan dia cintai. Al-Hasan bin Yasar yang kemudian dipanggil dengan Al-Hasan Al-Bashri berkembang besar di salah satu rumah Rasulullah SAW.

Dia terdidik di pangkuan salah seorang istri Nabi SAW, yaitu Hindun binti Suhail yang dikenal dengan Ummu Salamah. Bila anda ingin tahu, ketahuilah bahwa Ummu Salamah adalah perempuan arab yang paling sempurna akal dan keutamaannya serta paling keras kemauannya. Selain itu, beliau juga termasuk istri Rasul yang paling luas ilmunya dan banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau meriwayatkan dari Nabi SAW sekitar tiga ratus delapan puluh tujuh hadits. Hal lainnya, beliau termasuk wanita yang jarang ditemukan yang dapat menulis pada zaman jahiliyah. Hubungan anak bayi ini dengan Ummul mu'minin bukan hanya sampai di sini. Akan tetapi memanjang lebih jauh dari itu. Khairah ibu al-Hasan waktu itu banyak keluar rumah dalam rangka mengerjakan kebutuhan Ummul mu'minin, dan anak yang masih menetek ini pernah menangis karena lapar dan tangisnya semakin keras, maka Ummu Salamah mengambilnya dan memangkunya dan menyuapinya, supaya anak itu bersabar dan sibuk dengannya sambil menunggu ibunya.

Maka dengan demikian Ummu Salamah menjadi ibu bagi Al-Hasan dari dua arah; beliau adalah Ibunya karena dia termasuk orang yang beriman (Ummul Mu'minin). Dan beliau adalah Ibunya karena menyusui juga. Hubungan Ummahat mu'minin yang akrab dan rumah-rumah mereka yang berdekat-dekatan membuat anak kecil yang bahagia ini dengan bebas dapat berpindah dariu satu rumah ke rumah yang lain. Dia berakhlak dengan akhlak semua para pendidiknya. Mendapatkan petunjuk dari petunjuk yang mereka semua berikan. Sebagaimana dia mengisahkan tentang dirinya, bahwa dia memenuhi rumah-rumah ini dengan gerakannya yang lincah dan permainannya yang gesit, sehingga dia dapat menyentuh atap rumah-rumah Ummahat mu'minin dengan kedua tangannya sambil melompat.

Al-Hasan terus bermain di udara yang harum dengan wewangian kenabian yang kemilau dengan sinarnya ini. Dia meneguk dari mata air tawar yang memenuhi rumah-rumah Ummahat mu'minin itu dan berguru kepada pembesar-pembesar sahabat di masjid Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Dia meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah dan selain mereka. Akan tetapi dia banyak bergant meneladani Amirul mu'minin Ali bin Abi Thalib RA. Dia meneladaninya dalam kesalihan agama, kebagusan ibadahnya dan zuhudnya dari dunia dan perhiasannya. Dia terpesona oleh bayannya yang bersinar, hikmahnya yang mengesankan, perkataannya yang padat dan nasehatnya yang menggetarkan hati.

Maka kemudian terbentuklah pada dirinya gambaran orang yang diteladaninya itu dalam hal ketakwaan, ibadah, retorika dan kefasihan berbicara. Ketika al-Hasan telah berumur empat belas tahun, dan memasuki usia remaja, dia pindah bersama ayahnya ke Bashrah dan menetap di sana bersama keluarganya. Dan dari sinilah kemudian kenapa di akhir namanya dicantumkan "al-Bashri", yaitu nisbah kepada kota Bashrah sehingga dikenal banyak orang dengan sebutan Al-Hasan Al-Bashri. Waktu al-Hasan pindah ke sana, kota Bashrah merupakan benteng ilmu terbesar di negeri Islam. Dan masjidnya yang agung penuh dengan pembesar-pembesar sahabat dan tabi'in yang pindah ke sana. Kajian-kajian ilmu dengan aneka ragamnya meramaikan ruangan masjid dan mushallanya. Al-Hasan telah menetap di masjid dan mengikuti secara khusus pengajian yang dipandu Abdullah bin Abbas, seorang 'Alim umat Muhammad. Darinya dia belajat tafsir, hadits dan Qiraa`at kepadanya, plus fiqih, bahasa, sastra dan lain-lainnya baik kepadanya ataupun kepada ulama selainnya. Sehingga dia menjadi seorang 'alim yang sempurna, dan ahli fiqih yang tsiqah.

Maka orang-orang berdatangan kepadanya dan mengambil ilmunya yang demikian matang. Mereka berkerumun di sampingnya untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya yang dapat melunakkan hati yang keras dan menyucurkan air mata maksiat. Mereka menghafal hikmahnya yang bak mencengkeram akal. Mereka mencontoh sirahnya yang aromanya lebih harum daripada minyak kasturi. Berita tentang al-Hasan al-Bashri telah menyebar di berbagai pelosok negeri, dan namanya demikian agung di kalangan manusia.

Maka para Khalifah dan pejabat mulai bertanya tentangnya dan mengikuti beritanya. Khalid bin Sufwan bercerita, dia berkata, "Aku telah bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di Hirah (Negeri tua di Irak, kurang lebih sejauh tiga mil dari Kufah namun telah punah dan sekarang tidak ada lagi bekasnya), dia berkata kepadaku: Khabarilah aku wahai Khalid tentang al-Hasan al-Bashri, karena aku kira anda mengetahui sesuatu darinya, yang tidak diketahui oleh orang lain." Maka aku berkata, "Mudah-mudahan Allah meluuruskan anda wahai tuan pimpinan. Aku adalah orang yang paling baik yang menyampaikan beritanya kepadamu secara yakin. Karena aku adalah tetangganya, teman duduk di majlisnya dan orang Bashrah yang paling mengetahuinya." Maka dia berkata, "Coba ceritakanlah apa yang anda miliki." Lalu aku berkata, "Sesungguhnya dia adalah seseorang yang rahasianya seperti dhahirnya dan ucapannya seperti perbuatannya. Jika menyuruh yang ma'ruf, maka dia adalah orang pertama yang melakukannya.

Jika dia melarang kemungkaran, maka dia adalah orang pertama yang meninggalkannya. Sungguh, aku melihatnya sebagai orang yang menjaga diri dari pemberian orang, zuhud dari apa yang dimiliki orang-orang. Aku melihat orang-orang membutuhkannya dan meminta apa yang dia miliki." Lalu Maslamah berkata, "Cukup wahai Khalid, cukup wahai Khalid!! Bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat kalau di antara mereka ada orang seperti ini?!" Ketika al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi menjabat gubernur di Irak dan, seorang yang sangat kejam dan sombong. Maka al-Hasan al-Bashri adalah termasuk orang langka yang berani menentang kekejamannya tersebut. Beliau membeberkan keburukan perbuatan al-Hajjaj di hadapan orang-orang dan berkata benar di depannya.

Di antara contohnya, al-Hajjaj membangun suatu bangunan di daerah Wasith untuk kepentingan pribadinya, dan ketika bangunan tersebut rampung, al-Hajjaj mengajak orang-orang agar keluar untuk bersenang-senang bersamanya dan mendo'akan keberkahan untuknya. Rupanya, al-Hasan tidak ingin kalau kesempatan berkumpulnya orang-orang ini lewat begitu saja. Maka dia keluar menemui mereka untuk menasehati, mengingatkan, mengajak zuhud dari gelimang harta dunia dan menganjurkan mereka supaya mencari keridlaan Allah Azza wa Jalla. Ketika al-Hasan telah sampai di tempat, dan melihat orang-orang berkumpul mengelilingi istana yang megah, terbuat dari bahan-bahan yang mahal, dikelilingi halaman yang luas dan sepanjang bangun dihiasi dengan pernik-pernik.

Al-Hasan berdiri di depan mereka dan berceramah banyak, di antara yang beliau ucapkan adalah, "Kita telah melihat apa yang dibangun oleh manusia paling keji ini tidak ubahnya seperti apa yang kita temukan pada masa Fir'aun yang telah membangun bangunan yang besar dan tinggi, kemudian Allah membinasakan Fir'aun dan menghancurkan apa yang dia bangun dan dia kokohkan itu. Mudah-mudahan al-Hajjaj mengetahui bahwa penduduk langit telah mengutuknya dan bahwa penduduk bumi telah menipunya." Al-Hasan terus berbicara dengan gaya seperti ini, sehingga salah seorang yang hadir merasa khawatir kalau al-Hajjaj akan menyiksanya. Karena itu, orang tadi berkata kepadanya, "Cukup wahai Abu Sa'id! cukup.!" Lalu Al-Hasan berkata kepadanya, "Allah telah berjanji kepada Ahli ilmu, bahwa Dia akan menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya." Keesokan harinya, al-Hajjaj memasuki ruangannya dengan menahan amarah, lalu berkata kepada orang-orangnya, "Celakalah kamu! Seorang hamba sahaya milik penduduk Bashrah berdiri dan berkata tentang kita dengan seenaknya, kemudian tidak seorangpun membalasnya atau mengingkarinya!!

Demi Allah, aku akan menyiramkan darahnya kepadamu wahai para pengecut!" Lalu dia menyuruh supaya pedang dan lemek darah dihadirkan, lalu keduanya dihadirkan. Selanjutnya, dia memanggil tukang pukul, lalu tukang pukul itu segera berdiri di depannya. Kemudian mengirim sebagian polisinya menemui al-Hasan dan menyuruh mereka supaya membawanya-serta sekembalinya nanti." Tidak lama kemudian datanglah al-Hasan, maka seluruh pandangan orang tertuju padanya. Hati-hati mereka bergetar. Ketika al-Hasan melihat pedang dan lemek darah, dia menggerakkan kedua bibirnya, kemudian menghadap kepada al-Hajjaj dengan penuh 'izzah seorang mu'min, kewibawaan Islam dan keteguhan seorang da'i yang menyeru kepada Allah." Ketika al-Hajjaj melihatnya dengan kondisi seperti itu, dia menjadi sangat gentar, lalu berkata kepadanya, "Kemari wahai Abu Sa'id! Kemarilah!", Kemudian terus mempersilahkan jalan kepadanya jalan seraya berkata, Kemarilah!."

Sementara orang-orang menyaksikan hal itu dengan penuh rasa kaget dan aneh, hingga akhirnya al-Hajjaj mempersilahkannya duduk di atas permadaninya. Begitu al-Hasan telah duduk, al-Hajjaj menoleh ke arahnya, dan mulai menanyakan berbagai permasalahan agama kepadanya. Sementara al-Hasan menjawab setiap pertanyaan tersebut dengan mantap dan pasti. Penjelasan yang diberikannya demikian memikat, bersumber dari ilmu yang mumpuni. Lalu al-Hajjaj berkata kepadanya, "Engkau adalah tuannya para ulama' wahai Abu Sa'id.!" Kemudian dia meminta supaya dibawa ke hadapannya beberapa macam minyak wangi, lalu meminyakinya ke jenggot al-Hasan. Setelah itu, dia berpisah dengannya.

Ketika al-Hasan telah keluar, pengawal al-Hajjaj mengikutinya dan berkata kepadanya, "Wahai Abu Sa'id, sungguh, al-Hajjaj memanggil anda bukan untuk tujuan seperti yang barusan dilakukannya terhadap anda. Aku melihat anda ketika menghadap dan memandangi pedang dan lemek darah, seakan anda menggerakkan kedua bibir anda, kiranya apa yang anda baca?" Maka al-Hasan menjawab, "Aku telah membaca (artinya) 'Wahai Pembelaku ni'matku, dan pelindungku pada saat aku dalam bahaya, jadikanlah siksanya dingin dan keselamatan kepadaku, sebagaimana Engkau telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan kepada Ibrahim.'" Sikap al-Hasan al-Bashri seperti ini seringkali terjadi dengan para penguasa dan pejabat, dan dia keluar dari setiap kejadian tersebut dalam kondisi seorang yang Agung di mata penguasa, besar hati dengan Allah serta terjaga di bawah naungan perlidungan-Nya. Contoh lainnya, setelah Khalifah yang zuhud, Umar binAbdul Aziz berpulang ke rahmatullah dan kekuasaan berpindah ke tangan Yazid bin Abdul Malik, dia menugaskan Umar bin Hubairah al-Fazari sebagai gubernur Irak.

Kemudian dia memberinya mandat yang lebih, di samping menjadikan kawasan Khurasan di bawah kekuasaannya. Cara Yazid memperlakukan rakyatnya tidak sama seperti yang pernah dilakukan pendahulunya yang agung. Dia sering mengirim surat kepada Umar bin Hubairah dan memerintahkannya supaya melaksanakan apa yang ada di dalamnya, meskipun terkadang harus melanggar hak. Untuk itu, Umar bin Hubairah mengundang dua orang, yaitu al-HAsan al-Bashri dan Amir bin Syurahbil yang dikenal dengan sebutan "asy-Sya'bi." Dia berkata kepada keduanya, "Sesungguhnya Amirul mu'minin, Yazid bin Abdul Malik telah ditunjuk Allah sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya, dan mewajibkan manusia mentaatinya.

Dia telah menunjukku untuk mengurusi wilayah Irak sebagaimana yang anda lihat, kemudian dia menambahi kekuasaanku hingga kawasan Persia. Sedangkan dia terkadang mengirimkan surat kepadaku berisi perintah supaya aku melaksanakan sesuatu yang membuatku ragu terhadap keadilannya. Karena itu, apakah anda berdua dapat memberikan jalan keluar di dalam agama seputar batas ketaatanku kepadanya di dalam melaksanakan perintahnya?" Maka asy-Sya'bi menjawab dengan jawaban yang lunak terhadap Khalifah dan memberikan toleransi kepada gubernur. Sedangkan al-Hasan hanya terdiam. Lalu Umar bin Hubairah menoleh ke arahnya dan berkata, "Apa pendapatmu, wahai Abu Sa'id?" Maka Al-Hasan menjawab, "Wahai Ibn Hubairah, takutlah kepada Allah dalam masalah Yazid dan janganlah kamu takut Yazid dalam masalah Allah. Dan ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla dapat melindungimu dari Yazid, sedangkan Yazid tidak dapat melindungimu dari Allah. Wahai Ibn Hubairah, sesungguhnya dikhawatirkan akan datang padamu malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak pernah durhaka terhadap Allah dalam apa yang Dia perintahkan kepadanya, lalu malaikat itu menurunkanmu dari kursimu ini dan memindahkanmu dari istanamu yang luas ke kuburanmu yang sempit. Bilamana di sana sudah tidak ada Yazid, maka yang ada hanya amalmu yang kamu gunakan untuk menyalahi perintah Tuhannya Yazid. Wahai Ibn Hubairah, sesungguhnya jika kamu bersama Allah Ta'ala dan mentaati-Nya, maka Allah akan menghindarkanmu dari siksa Yazid bin Abdul Malik di dunia dan akhirat.

Dan jika kamu bersama Yazid dalam bermaksiat kepada Allah Ta'ala, maka sesungguhnya Allah akan menyerahkan kamu kepada Yazid. Dan ketahuilah wahai Ibn Hubairah, bahwasanya tidak ada ketaatan kepada makhluk manapun dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla." Mendengar ucapan al-Hasan tersebut, menangislah Umar bin Hubairah hingga air matanya membasahi jenggotnya. Dia berpaling dari pendapat asy-Sya'bi kepada pendapat al-Hasan dan dia sangat mengagungkan serta menghormatinya. Ketika keduanya telah keluar darinya, keduanya sama-sama menuju ke masjid. Lalu orang-orang mengerumuninya dan menanyakan tentang apa yang dibicarakan keduanya dengan gubernur Irak. Maka asy-Sya'bi menoleh kepada mereka seraya berujar, "Wahai manusia! Barangsiapa di antara kamu semua ingin mementingkan Allah Azza wa Jalla di atas kepentingan makhluk-Nya dari segala tempat, maka hendaklah dia melakukan hal itu. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, apa yang dikatakan al-Hasan kepada Umar bin Hubairah adalah perkataan yang keluar lantaran kejahilanku. Aku menginginkan dari apa yang aku katakan untuk mencari wajah Ibnu hubairah, sementara al-Hasan menginginkan dari apa yang dia katakan semata untuk mendapatkan wajah Allah.

Maka Allah menjauhkan aku dari Ibn Hubairah dan mendekatkan al-Hasan kepadanya dan membuatnya cinta terhadapnya." Al-Hasan al-Bashri berumur panjang, yaitu hingga mencapai umur sekitar 80 tahun. Dan, dalam umur yang sepanjang itu dia mengisi kehidupan dunia ini dengan ilmu, hikmah dan fiqih. Warisan paling besar yang dia wariskan kepada generasi demi generasi adalah nasehat dan wasiatnya yang ikut bergulir seiring dengan putaran hari-hari di dalam belahan-belahan hati manusia. Dan nasehat-nasehatnya yang menggetarkan hati dan terus akan menggetarkannya, membuat air mata bercucuran, menunjukkan si tersesat ke jalan Allah dan mengingatkan si terperdaya dan lalai dengan hakikat dunia serta tujuan keberadaan manusia di dunia ini seakan menjadikan orang tengah hadir bersamanya. Di antara contohnya, perkataannya kepada orang yang bertanya tentang dunia dan hakikat keberadaannya, "Kamu bertanya tentang dunia dan akhirat? Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah bagaikan timur dan barat.

Setiap salah satunya bertambah dekat, maka yang satunya lagi semakin jauh. Dan kamu berkata kepadaku, Sebutkanlah karateristik dunia ini kepadaku!! Apa yang harus aku sebutkan kepadamu tentang rumah yang awalnya melelahkan sedangkan akhirnya membinasakan, di dalam kehalalannya ada perhitungan dan di dalam keharamannya ada siksaan.? Siapa yang tidak membutuhkannya terkena fitnah dan siapa yang membutuhkannya akan sedih." Contoh perkataannya yang lain, yaitu ketika ada orang lain bertanya tentang kondisinya dan kondisi orang-orang, "Celakalah kita! Apa yang kita perbuat terhadap diri kita sendiri!! Kita telah merendahkan agama kita dan meninggikan dunia, kita membiarkan akhlak kotor dan memperbarui tempat tidur dan pakaian. Salah seorang di antara kita bersandar dengan tangan kirinya dan makan dari harta yang bukan miliknya, makanannya di dapat dari hasil menyerobot, pelayannya dipaksa tanpa upah, meminta yang manis setelah asam, meminta yang panas setelah dingin, dan meminta yang basah setelah kering sehingga ketika dia telah kenyang, menguap karena kepenuhan, kemudian berkata, 'Wahai pelayan! ambilkan pencerna makanan! Wahai orang bodoh- Demi Allah- Jangan sekali-kali kamu mencerna kecuali agamamu! Di mana tetanggamu yang mengaharap uluran tanganmu?!! Di mana anak yatim kaummu yang lapar?!! Di mana orang miskinmu yang melihatmu?!! Di mana wasiat yang Allah Azza wa Jalla sampaikan kepadamu?!! Barangkali kamu mengetahui bahwa kamu berjumlah banyak. Dan bahwasanya setiap matahari hari ini terbenam, maka berkuranglah jumlahmu sementara sebagian kamu pergi bersamanya.'"

Pada hari Jum'at bulan Rajab tahun 110 H, al-Hasan al-Bashri memenuhi panggilan Tuhannya. Dan pada pagi harinya, tersebarlah berita wafatnya di kalangan orang-orang sehingga Bashrah bergetar karena kematiannya. Dia kemudian dimandikan, dikafani dan dishalati setelah shalat Jum'at di masjid Jami' yang sepanjang hidupnya dia habiskan waktunya di sana sebagai seorang 'alim, pendidik dan penyeru kepada Allah. Kemudian orang-orang semuanya mengiringi janazahnya. Dan shalat ashar pada hari itu tidak dilaksanakan di masjid jami' Bashrah, karena di dalamnya tidak ada seorangpun yang melaksanakan shalat. Dan orang-orang tidak mengetahui bahwa shalat libur pada hari itu di masjid Bashrah semenjak kaum muslimin membangunnya kecuali pada hari itu, yaitu hari kepulangan al-Hasan al-Bashri menuju sisi Tuhannya.

Sumber:
Ath-Thabaqat Al-Kubra, oleh Ibnu Sa'd: 7/156, 179, 182, 188, 195, 197, 202, dan halaman-halaman lainnya (Lihat daftar isi di jilid terakhir)
Shifat Ash-Shafwah, oleh Ibnu Al-Jauzi: 3/233- 237 (Cetakan Dar An-Nashir di Halb)
Hulliyatu Al-Auliya, oleh Al-Ashfahani: 2/131-161.
Tarikh Khalifah Ibnu Khayyath: 123, 189, 287, 331, 354, 189.
Wafayat Al-A'yan, oleh Ibnu Khalkan: 1/354-356.
Syadzarat Adz-Dzahab: 1/138-139.
Mizan Al-I'tidal: 1/254 dan setelahnya.
Amali Al-Murtadla: 1/152, 153, 158, 160.
Al-bayan wa At-Tabyin: 2/173 dan 3/144.
Al-Muhabbar, oleh Muhammad bin Habib: 235 dan 378.
Kitab Al-Wafayat, oleh Ahmad bin Hasan bin Ali bin Al-Khathib: 108-109.
Al-Hasan Al-Bashri, oleh Ihsan Abbas.
101 kisah Tabi'in: 262-269

Sumber:Canggile.blogspot.com

Template by : kendhin x-template.blogspot.com